Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan dua orang yang memiliki permasalahan keuangan yang mirip tapi tidak sama. Kebetulan, kedua orang ini sudah saya kenal dengan baik. Saat bertemu dengan orang pertama, sebut saja Ibu Abadi, awalnya kami hanya ngobrol ringan soal kondisi kesehatan, anak-anak dan perbincangan ringan lainnya. Namun setelah hampir setengah jam berlalu, obrolan kami mulai menghangat karena Ibu Abadi mulai menceritakan masalah yang terjadi pada keluarganya. Ibu Abadi yang sudah setengah baya ini menceritakan hubungannya yang kurang harmonis dengan menantunya. Sejak ditinggal oleh sang suami satu setengah tahun lalu, bisnis keluarganya diserahkan pengelolaannya kepada sang menantu. Hal ini dilakukan karena dari keenam anaknya, tidak ada satu pun yang mau meneruskan bisnisnya. Alasannya bermacam-macam, mulai karena ada yang menetap di luar negeri, ada yang sudah bekerja di perusahaan lain dan ada pula yang masih kuliah.
Pada awalnya, Ibu ini merasa senang atas kesediaan sang menantu untuk mengurus bisnis warisan ini. Bahkan Ibu mertua ini sempat menganggap sang menantu sebagai penyelamat perusahaan, karena selama dikelola oleh menantunya, perusahaan warisan ini semakin tertata bahkan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi sayangnya, setelah berjalan hampir 1,5 tahun, hubungan antara ibu mertua dan menantu mulai tidak harmonis. Ibu mertua yang selama ini bisa dengan leluasa mengelola keuangan perusahaan, kini hak aksesnya mulai dibatasi oleh menantunya, dengan alasan agar pengelolaan keuangan lebih tertata. Sang mertua pun mulai curiga kepada menantunya karena ia tidak tahu berapa jatah/gaji yang diambil menantunya, karena selama ini tidak ada kesepakatan besarnya gaji.
Situasi semakin meruncing karena mereka sudah mulai menunjukkan sikap saling curiga. Sang mertua pun mulai khawatir akan nasib perusahaan ini di masa mendatang. Ia khawatir kalau pada saatnya nanti perusahaan ini benar-benar dikuasai oleh menantunya, meski sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa pengelolaan perusahaan ini hanya 3 tahun dan untuk selanjutnya akan diserahkan kembali kepada putera terakhirnya yang saat itu diperkirakan sudah lulus kuliah.
Masalah-masalah yang terjadi dalam perusahaan tersebut kini mulai dibawa ke rumah tangga. Sang menantu, yang kebetulan tinggal satu rumah besar dengan mertuanya, mulai menunjukkan perilaku �aneh�. Ia mulai tidak betah tinggal di rumah mertuanya. Demikian juga sang mertua mulai �gerah� melihat perilaku menantunya.
Selanjutnya, inilah cerita kedua, dari keluarga yang berbeda, yakni keluarga Belia, keluarga muda yang baru membina hubungan keluarga sejak 3 tahun lalu. Di usia perkawinannya yang masih muda, keluarga ini sudah �memelihara� konflik yang juga bersumber dari keuangan, seperti keluarga pertama. Konflik keluarga Belia ini bermula karena dipicu oleh sang suami yang belum mampu memberikan nafkah yang memadai kepada istrinya. Meski berbagai usaha untuk mendapatkan penghasilan sudah dilakukan, mulai dari mengirim ratusan lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan maupun mencoba merintis bisnis, namun nafkah layak tak kunjung didapatkan. Untuk kebutuhan hidup, semuanya ditanggung oleh sang istri yang sudah memiliki bisnis sejak sebelum menikah.
Di tengah keputusasaan sang suami mendapatkan penghasilan, maka timbullah ide dari sang suami untuk ikut bergabung dalam bisnis istrinya. Sang istri tidak keberatan dengan solusi seperti itu. Singkat cerita, suami istri ini bekerja bersama membangun perusahaan keluarga. Enam bulan pertama tidak ada masalah. Namun menginjak bulan berikutnya, hubungan keluarga ini mulai kurang harmonis. Ketidakharmonisan itu ternyata dipicu oleh ketidakjelasan hubungan kerja dalam mengelola bisnis maupun mengelola keuangan. Sang istri menganggap suaminya hanya membantu sementara dalam bisnisnya, sehingga tidak perlu diberikan gaji dan cukup �uang rokok� saja. Sementara sang suami merasa bahwa ia telah mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk membantu bisnis, sehingga ia pun merasa berhak mendapatkan lebih dari sekedar �uang rokok� saja.
Apa yang saya sampaikan melalui kedua cerita diatas, hanyalah sebagian dari potret hubungan keluarga di sekeliling kita. Saya yakin masih banyak masalah-masalah sejenis yang seringkali dibiarkan saja menjadi bom waktu dan akhirnya meledak menghancurkan hubungan keluarga hingga berujung pada pertengkaran, sampai perceraian.
Lalu, apa sih penyebab permasalahan kedua keluarga diatas? Akar permasalahannya memang bisa bermacam-macam. Tapi dalam pembahasan kali ini kita akan fokus pada masalah keuangan sebagai pemicunya. Salah satunya adalah karena tidak ada kejelasan hubungan dalam pengelolaan keuangan maupun pengelolaan bisnis. Masing-masing keluarga diatas masih menganggap bahwa pola hubungan bisnis maupun pola hubungan pengelolaan keuangan adalah sama seperti hubungan lainnya dalam keluarga, yang bisa dilakukan secara kekeluargaan. Padahal pengelolaan uang maupun bisnis seharusnya tidak dilakukan secara �kekeluargaan� dengan budaya ewuh pekewuh.
Lalu bagaimana solusinya? Setiap keluarga sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, setiap anggota keluarga harus paham, bahwa uang itu tidak mengenal anak maupun saudara. Ya� uang memang tidak mengenal saudara, tidak mengenal adik, kakak, bahkan orang tua pun uang tidak mengenalnya. Uang hanya mengenal batas kepemilikan. Uang hanya mengenal siapa pemiliknya. Oleh karena itu, kita harus memperjelas kepemilikan uang. Uang ini milik siapa, bisnis itu milik siapa. Jangankan yang kepemilikannnya tidak jelas, uang maupun bisnis yang kepemilikannya jelas pun masih sangat rentan sebagai pemicu keributan di keluarga. Jadi cara kita dalam mengelola uang maupun bisnis adalah dengan membuatnya secara jelas batas-batas kepemilikan maupun batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pengelola atau pemiliknya. Jangan sampai Anda merasa ewuh pekewuh (sungkan) membicarakan masalah ini.
Kedua, buat kesepakatan untuk memisahkan secara tegas kepemilikan uang maupun kepemilikan bisnis. Dalam dunia bisnis itu ada istilah business entity yakni pengelolaan keuangan bisnis harus dipisahkan dengan keuangan pribadi atau pun keluarga. Keuangan perusahaan adalah milik perusahaan yang harus digunakan untuk keperluan perusahaan. Demikian juga keuangan pribadi sebaiknya tidak dicampur adukkan dengan keuangan perusahaan. Pembukuan masing-masing harus jelas. Dalam kasus kedua keluarga diatas, sebaiknya siapa pun yang ikut mengelola perusahaan harus di gaji. Apabila perusahaan itu milik sang istri, dan suami membantu dalam perusahaan, seharusnya juga digaji sesuai kemampuan perusahaan atau kesepakatan bersama. Termasuk menantu pada kasus keluarga pertama seharusnya dibuatkan perjanjian sejak awal penyerahan pengelolaan bisnis, misalnya berapa gaji yang harus diterima menantu, apa saja kewenangannya dan sebagainya.
Apabila Anda sebagai pemilik perusahaan pun harus bertindak profesional dengan menggaji diri sendiri. Berapa gaji yang wajar buat anda Anda, patokannya adalah berapa kebutuhan hidup wajar dalam sebulan dan berapa Anda harus menabung.
Dengan demikian, bila penghasilan dari bisnis melebihi kebutuhan hidup setiap bulannya, Anda tidak akan �sewenang - wenang� menggunakan uang perusahaan untuk keperluan pribadi/keluarga. Anda bisa menggunakan keuntungan tersebut untuk menambah modal kerja atau ekspansi bisnis.
Bagaimana bila ada kebutuhan uang yang mendesak dan harus diambil dari uang simpanan atau uang perusahaan? Bila kita terpaksa harus menggunakan uang simpanan atau modal perusahaan, maka catatlah itu sebagai hutang. Karena akadnya hutang, maka kita ada �kewajiban� untuk mengembalikan uang tersebut. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kalau setiap bulan kita butuh uang mendesak? Kalau demikian, maka yang perlu di evaluasi adalah penghitungan kembali kebutuhan bulanan, apakah sudah benar-benar mencerminkan kebutuhan yang riil.
Ketentuan ini seharusnya juga bisa diterapkan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Buatlah aturan yang disepakati antara suami istri dalam mengelola keuangan keluarga. Misalnya siapa yang bertanggung jawab atas pengaturan uang bulanan dan berapa yang harus dikeluarkan. Kalau dalam realisasi pengeluaran bulanan diperkirakan melebihi anggaran yang telah disepakati, bagaimana penyelesaiannya. Apakah boleh langsung mengambil tabungan ataukah harus menunda pengeluaran yang lain. Tentu saja, hal-hal kecil ini perlu diatur dan disepakati antara suami istri.
Ketiga, laksanakan dengan konsisten dan evaluasi minimal setahun sekali. Untuk hal-hal yang masih belum dilaksanakan agar dievaluasi penyebabnya sedangkan hal-hal yang sudah bisa dilaksanakan ditingkatkan lebih baik.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip sederhana diatas, saya yakin permasalahan-permasalahan keluarga yang bersumber dari masalah keuangan, tidak akan pernah muncul. Insya Allah kita akan memiliki keluarga yang harmonis.
*) Tulisan ini telah di muat di Majalah Nurul Hayat Surabaya
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=281
Gadget Text
INFO DAN KONSULTASI HUBUNGI 082139434212
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Jangan lupa berkomentar ya......