Tulisan ini dari Koran Tempo, Minggu, 23 Juli 2006
Buku motivator karyawan membuka usaha bikinan lokal membanjiri pasar.
Firkah Fansuri bukan karyawan biasa. Dari pekerja level menengah di sebuah perusahaan jaringan media dengan gaji pas-pasan, ia menjelma menjadi pengusaha usaha kecil menengah beraset semiliar rupiah. Barangkali dia lebih kaya daripada top manager di perusahaan tempat ia bekerja.
Pria--yang menggerakkan rumah makan waralaba, bengkel, galeri furnitur jati buatan Jepara, dan bengkel perabot dapur (kitchen set)--itu tergerak merintis usaha di tengah kebiasaan bergantung pada gaji bulanan karena "ingin mencapai taraf hidup yang selama ini cuma bisa dirasakan pengusaha menengah yang sukses".
Itu termasuk tidak pusing memikirkan cicilan rumah, mobil, kartu kredit, biaya berobat, dan pendidikan anak--sumber keruwetan yang terus melilit orang gajian level menengah serupa dirinya. Pria berusia 37 tahun ini butuh waktu sekitar tiga tahun untuk sampai pada kenyamanan seperti sekarang.
"Saya rajin membaca buku yang mengilhami usaha kecil menengah tanpa perlu berhenti dari pekerjaan," kata ayah tiga anak itu berkisah tentang perkenalannya dengan usaha wiraswasta.
Buku yang termasuk paling "meracuninya" adalah seri usaha orang gajian yang dibikin Safir Senduk. Ada pula buku-buku sederhana lain yang mengilhami orang bermodal kecil. Misalnya, buku-buku karya Safak Muhammad yang melecut orang untuk bangga menjadi pengusaha.
Buku-buku yang membidik para karyawan, orang gajian, buruh berdasi, atau apa pun namanya, untuk tergerak menjadi pengusaha, kini memang tengah menemukan musimnya. Buku semacam ini awalnya meledak ketika serial Rich Dad Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki muncul di pasar. Buku ini mengilhami banyak orang untuk bergeser dari paradigma "menerima gaji setiap bulan."
Lalu berhamburanlah buku bikinan lokal yang tidak kalah larisnya. Jika buku Kiyosaki agak sukar menemukan jalan aplikasinya di Indonesia, buku-buku motivasi berdagang versi lokal ini justru sangat kental nuansa kekiniannya, termasuk bagaimana berbisnis dengan modal gaji atau berbisnis dengan modal tabungan bonus dari perusahaan.
Safir Senduk adalah contoh paling berkilau. Hanya dari menulis buku-buku motivasi usaha bagi orang gajian, ia bisa meraup keuntungan tidak kurang dari Rp 150 juta. Itu hanya dari royalti. Belum yang mengucur dari cetak ulang.
Keuntungan terbesar disumbangkan buku Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?, yang terbit pada Desember 2005. Sejak terbit, buku itu sudah terjual 25 ribu eksemplar. Pendiri Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk dan Rekan itu menghitung, jika harga buku plus pajak pertambahan nilai Rp 22.800 dan royalti 10 persen, pada Agustus nanti ia akan menerima uang sekitar Rp 50 juta dari penerbit. Dalam satu tahun ada dua kali pemberian royalti.
Laki-laki 33 tahun itu menuturkan ia telah menulis delapan buku bertema perencanaan keuangan. Buku pertamanya, Mempersiapkan Dana Pendidikan Anak, terbit pada 1999, sedangkan buku terbarunya, Buka Usaha Nggak Kaya? Percuma..!!, terbit bulan lalu.
Selain dampak langsung penjualan buku, pengaruh tidak langsung ia rasakan dari bertambahnya klien yang datang ke kantor. "Permintaan mengisi seminar bertopik pengelolaan keuangan juga bertambah," katanya.
Dalam bukunya itu, Safir membocorkan jenis usaha apa saja yang bisa dilakoni sambil tetap bekerja kantoran, kesulitan dan hambatan, cara menyiasati, dan cara bertahan.
Tidak jauh berbeda dengan Safir, ada pula Safak Muhammad dan Edy Zaques. Safak Muhammad bercerita, buku Cara Mudah Orang Gajian Menjadi Entrepeneur--yang terbit pada September 2005--telah memasuki cetakan keempat dan terjual 12 ribu eksemplar. Sedangkan Edy Zaqeus mengaku, hanya dalam tempo kurang dari dua bulan, buku Orang Gajian Bisa Kaya--yang dirilis dua bulan silam--telah terjual hampir 5.000 kopi. Sebelum itu, ada pula karya Valentino Dinsi, Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian. Buku terbitan Oktober 2004 itu menjadi fenomena dan dibicarakan dalam banyak seminar di Tanah Air.
Apa yang membuat buku-buku itu laris manis? Safak berpendapat, keinginan menjadi kaya sudah menjadi naluri manusia. Terlebih lagi kondisi ekonomi yang buruk membuat kebutuhan hidup naik, sementara gaji tidak bergerak. "Mau tidak mau pendapatan harus meningkat," ujarnya.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember itu mengatakan, berdasarkan sebuah survei di Amerika Serikat, hanya 10 persen orang kaya yang berlatar belakang pegawai. Selebihnya, 60-70 persen orang kaya berlatar belakang pengusaha.
Memang ada sebagian karyawan yang kaya. Tapi itu butuh waktu lama. Satu-satu cara untuk menjadi kaya dalam waktu singkat, menurut Safak Muhammad, adalah menjadi pengusaha.
Di dalam bukunya itu, Safak memberi kiat membuka usaha bagi karyawan. Tantangan yang dihadapi, kata dia, adalah mengubah mental pekerja agar mau keluar dari zona keamanan seorang pegawai gajian menjadi pengusaha dengan segala risikonya.
Safak membenarkan karya Kiyosaki turut mempengaruhi pemikirannya. Tapi, kata dia, sebagian besar isi bukunya berasal dari pengalaman pribadi. Apalagi, kata dia, teori Kiyosaki tidak seluruhnya dapat diterapkan di Indonesia.
Contohnya adalah ide membeli properti tanpa modal. Caranya, menurut Kiyosaki, menyewakan properti tersebut lalu membayar cicilannya ke bank dari hasil sewa. "Nyatanya bunga bank di Indonesia tinggi sekali." Sedangkan di Amerika Serikat, tempat Kiyosaki tinggal, bunga bank sangat kecil.
Edy senada dengan Safak. Motivasinya menulis buku bertema karyawan terinspirasi oleh buku-buku Kiyosaki. Tapi yang membedakan buku Edy dengan semacamnya adalah jalan menjadi kaya tidak hanya dari bisnis.
Ia percaya orang gajian juga bisa kaya asal mampu mengelola penghasilannya dengan benar. Edy menunjuk contoh orang-orang yang mampu mencapai puncak dalam kariernya pasti akan mendapat penghasilan yang sangat besar.
Di dalam bukunya, Edy memberi formula proporsi pengeluaran yang disebut Formula 1234. Inti formula ini adalah menyisihkan 10 persen penghasilan untuk kegiatan amal, 20 persen untuk hobi, pengembangan diri, dan rekreasi, 30 persen untuk tabungan, dan 40 persen untuk kebutuhan rutin.
Formula itu, ungkap dia, baru langkah pertama. Selanjutnya lulusan terbaik Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu memberi jangka waktu 5 tahun bagi karyawan untuk menguji keberhasilan formula tersebut. Selama 5 tahun itu, karyawan juga harus terus mengembangkan diri.
Misalnya dengan mengikuti kursus, seminar, dan pelatihan yang sesuai dengan bidang pekerjaan dan bakatnya. Diharapkan, dalam waktu 5 tahun itu, seorang karyawan meningkatkan potensi dirinya untuk mencapai puncak karier.
Di bagian terakhir bukunya, Edy juga memberi wawasan berinvestasi. Pesannya, kalaupun seorang karyawan ingin berinvestasi, ia harus mengenal seluk-beluk bisnis yang akan digelutinya terlebih dulu. "Jangan terbuai oleh janji-janji penghasilan besar tanpa memperhatikan risikonya," kata dia. EFRI RITONGA | ANGELA
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=137
Gadget Text
INFO DAN KONSULTASI HUBUNGI 082139434212
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi Usaha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi Usaha. Tampilkan semua postingan
Rabu, 22 Februari 2012
Tangga Kesabaran
Sebut saja namanya Z, seorang manajer sebuah perusahaan swasta Bandung. Suatu hari datang ke seorang ustadz. Kedatangannya karena keinginan yang menggebu - gebu atas kehampaan jiwa yang sedang ia rasakan. Rutinitas pekerjaan yang ia lakukan, memaksa mengedepankan kemamampuan intelektualnya, namun berbarengan dengan itu sisi spiritual telah diabaikan, hingga pada sebuah titik ia bertemu dengan sebuah kehampaan.
Ketika sudah ketemu dengan sang ustadz, sang ustadzpun tidak banyak bicara dan basa basi lainnya, ia hanya berkata sedikit, �kamu berlatih sabar dulu, karena orang yang sabar itu bersama Allah.�. Si manajer itupun kembali dari rumah sang ustadz. Dalam perjalanannya ia pulang, iapun bertanya-tanya, �jauh-jauh datang, ingin mencari pengobat hati yang hampa, malahan hanya dapat sebuah kalimat pendek. Kalau hanya seperti itu ngapain jauh � jauh, baca di buku � buku yang bertebaran di toko buku juga banyak.�
Beberapa minggu waktu telah berlalu, namun kehampaan jiwa masih selalu menggelayut dalam benak sang manajer. Rutinitas harian yang ia laluipun, hanya berkutik pada aktivitas intelektual semata. Ibadah ritual yang ia jalankan, seolah tak membekas dalam relung hatinya yang terdalam. Sholatnyapun terasa hanya sebuah penggugur kewajiban, tak membekas di jiwanya,apalagi implikasi sosial.
Pada suatu hari ada meeting di kantornya, akibat krisis global yang melanda dunia, perusahaan tempatnya bekerjapun terkena imbas. Keputusan Dewan Direksi, perusahaan akan memberlakukan PHK, tidak terkecuali di jajaran departemen yang ia manajeri. Sebagai tahap awal manajemen memutuskan untuk mengurangi karyawan di tingkat staff. Akibat dari keputusan tersebut, si manajer harus melakukan pekerjaan yang tidak sedikit, karena pekerjaan yang biasanya bisa dilimpahkan ke staffnya, maka terpaksa harus dilakukan ia sendiri.
Sebagai akibat dari keputusan tersebut, iapun mulai merasakan kepenatan yang lebih. Kalau dulu ia hanya mengkonsep, dan staffnya yang mengetik surat, maka sekarang ia harus mengonsep sendiri, mengetik sendiri, bahkan harus melakukan hal � hal lain, yang sebenarnya bukan kerjaan seorang manajer. Tidak hanya itu, iapun mulai merasakan kehilangan kharismanya. Kalau dulu ia tinggal perintah, maka sekarang minta tolong ke temanpun tidak selalu diperhatikan. Ia merasa, bahwa ia kerja sendiri, tidak disupport teman � teman. Masing � masing mulai muncul egoisme pribadi. Kalau dulu toleransi begitu mengakar di perusahaan, sekarang toleransi itu, hampir � hampir sirna termakan kepentingan sendiri � sendiri.
Hari � hari berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya si manajerpun datang kembali ke tempat sang ustadz. Kalau dulu ia datang dengan tujuan mencari pencerahan dari kehampaan jiwa, maka sekarang ia datang untuk mengadukan kepenatan lingkungan kerjanya.
Setelah sampai ke tempat sang ustadz, sang ustadzpun dengan santai hanya memberi satu kalimat sederhana, � kamu, baru dikasih satu tangga untuk menuju kesabaran�. Si manajerpun terangguk- angguk, bukan karena mengerti kata-kata sang ustadz, tapi karena bagi dia tambah bingung.
Sesampai di rumah, si manajer masih saja bingung, dengan kata � kata sang ustadz. Logika berfikirnya masih belum bisa menerima. Di kantor ia sudah pusing dengan kondisi perusahaan. Ketika datang ke sang ustadz, hanya dikasih seuntai kalimat, yang ia terngiang � ngiang, �tangga kesabaran�.
Di sebuah malam, tidak seperti biasanya sang manajer bisa bangun malam, tepat jam tiga ia berusaha melakukan sholat tahajud. Ada sebuah kedamaian yang ia rasakan setelah sholat. Beban � beban yang ia rasakan di siang hari,seolah tak menggelayut di relung fikirannya.
Sehabis sholat dan wiridan, iapun bergegas ke teras depan. Sambil menunggu waktu shubuh iapun duduk termenung, hingga pada sebuah titik ia mulai dianugerahi sebuah pencerahan. Ia mulai mengingat, dulu datang ke tempat sang ustadz, dengan tujuan mencari pencerahan atas kehampaan jiwanya. Namun setelah datang ke tempat sang ustadz, justru di kantornya terjadi kondisi yang selalu memancing emosinya...., kondisi yang seolah menghilangkan kharismanya...., terjadi kondisi yang membuat perasaannya semakin tersiksa....., kenapa ??? ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri.
Yah.... itulah sebuah kenyataan, yang memaksa diri untuk bertindak sabar. �Kalau saya selalu emosi, kurang percaya diri, merasa dikhianati, berarti terjerembab oleh sebuah keadaan.� gumannya dalam hati. �Padahal bukan sebuah kebetulan, bila kondisi itu memang sengaja diberikan sama Allah, supaya saya bisa belajar sabar....� jawabnya dalam hati. Iapun kemudian berujar, �Karena kondisi ini, maka saya dipaksa belajar sabar, bila sabar telah tertoreh, maka pertolongan Allah akan datang, jadi kondisi itu hanyalah sebuah anak tangga menuju kesabaran.�
Demikianlah, seberkas cahanya telah merasuk dalam dinding kalbunya, hingga saat adzan shubuh terdengar, kakinya ringan melangkah menuju masjid. Ketika pagi telah menjelang, iapun berjalan menuju kantor dengan raut wajah yang terang, sorot matanyapun berbinar tidak nampak kelesuan disana. Langkahnyapun terlihat tegap, seolah langkah menuju ke tempat yang selama ini ia rindukan.
Terang wajahnya, dan berbinar sorot matanya, bukan karena ia di kantor tidak akan menemui orang � orang yang tak mempedulikannya, namun karena ia yakin, bahwa Allah telah menganugerahi anak tangga menuju kesabaran, yang selama ini ia cita-citakan.
Wallahu a�lam.
Ketika sudah ketemu dengan sang ustadz, sang ustadzpun tidak banyak bicara dan basa basi lainnya, ia hanya berkata sedikit, �kamu berlatih sabar dulu, karena orang yang sabar itu bersama Allah.�. Si manajer itupun kembali dari rumah sang ustadz. Dalam perjalanannya ia pulang, iapun bertanya-tanya, �jauh-jauh datang, ingin mencari pengobat hati yang hampa, malahan hanya dapat sebuah kalimat pendek. Kalau hanya seperti itu ngapain jauh � jauh, baca di buku � buku yang bertebaran di toko buku juga banyak.�
Beberapa minggu waktu telah berlalu, namun kehampaan jiwa masih selalu menggelayut dalam benak sang manajer. Rutinitas harian yang ia laluipun, hanya berkutik pada aktivitas intelektual semata. Ibadah ritual yang ia jalankan, seolah tak membekas dalam relung hatinya yang terdalam. Sholatnyapun terasa hanya sebuah penggugur kewajiban, tak membekas di jiwanya,apalagi implikasi sosial.
Pada suatu hari ada meeting di kantornya, akibat krisis global yang melanda dunia, perusahaan tempatnya bekerjapun terkena imbas. Keputusan Dewan Direksi, perusahaan akan memberlakukan PHK, tidak terkecuali di jajaran departemen yang ia manajeri. Sebagai tahap awal manajemen memutuskan untuk mengurangi karyawan di tingkat staff. Akibat dari keputusan tersebut, si manajer harus melakukan pekerjaan yang tidak sedikit, karena pekerjaan yang biasanya bisa dilimpahkan ke staffnya, maka terpaksa harus dilakukan ia sendiri.
Sebagai akibat dari keputusan tersebut, iapun mulai merasakan kepenatan yang lebih. Kalau dulu ia hanya mengkonsep, dan staffnya yang mengetik surat, maka sekarang ia harus mengonsep sendiri, mengetik sendiri, bahkan harus melakukan hal � hal lain, yang sebenarnya bukan kerjaan seorang manajer. Tidak hanya itu, iapun mulai merasakan kehilangan kharismanya. Kalau dulu ia tinggal perintah, maka sekarang minta tolong ke temanpun tidak selalu diperhatikan. Ia merasa, bahwa ia kerja sendiri, tidak disupport teman � teman. Masing � masing mulai muncul egoisme pribadi. Kalau dulu toleransi begitu mengakar di perusahaan, sekarang toleransi itu, hampir � hampir sirna termakan kepentingan sendiri � sendiri.
Hari � hari berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya si manajerpun datang kembali ke tempat sang ustadz. Kalau dulu ia datang dengan tujuan mencari pencerahan dari kehampaan jiwa, maka sekarang ia datang untuk mengadukan kepenatan lingkungan kerjanya.
Setelah sampai ke tempat sang ustadz, sang ustadzpun dengan santai hanya memberi satu kalimat sederhana, � kamu, baru dikasih satu tangga untuk menuju kesabaran�. Si manajerpun terangguk- angguk, bukan karena mengerti kata-kata sang ustadz, tapi karena bagi dia tambah bingung.
Sesampai di rumah, si manajer masih saja bingung, dengan kata � kata sang ustadz. Logika berfikirnya masih belum bisa menerima. Di kantor ia sudah pusing dengan kondisi perusahaan. Ketika datang ke sang ustadz, hanya dikasih seuntai kalimat, yang ia terngiang � ngiang, �tangga kesabaran�.
Di sebuah malam, tidak seperti biasanya sang manajer bisa bangun malam, tepat jam tiga ia berusaha melakukan sholat tahajud. Ada sebuah kedamaian yang ia rasakan setelah sholat. Beban � beban yang ia rasakan di siang hari,seolah tak menggelayut di relung fikirannya.
Sehabis sholat dan wiridan, iapun bergegas ke teras depan. Sambil menunggu waktu shubuh iapun duduk termenung, hingga pada sebuah titik ia mulai dianugerahi sebuah pencerahan. Ia mulai mengingat, dulu datang ke tempat sang ustadz, dengan tujuan mencari pencerahan atas kehampaan jiwanya. Namun setelah datang ke tempat sang ustadz, justru di kantornya terjadi kondisi yang selalu memancing emosinya...., kondisi yang seolah menghilangkan kharismanya...., terjadi kondisi yang membuat perasaannya semakin tersiksa....., kenapa ??? ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri.
Yah.... itulah sebuah kenyataan, yang memaksa diri untuk bertindak sabar. �Kalau saya selalu emosi, kurang percaya diri, merasa dikhianati, berarti terjerembab oleh sebuah keadaan.� gumannya dalam hati. �Padahal bukan sebuah kebetulan, bila kondisi itu memang sengaja diberikan sama Allah, supaya saya bisa belajar sabar....� jawabnya dalam hati. Iapun kemudian berujar, �Karena kondisi ini, maka saya dipaksa belajar sabar, bila sabar telah tertoreh, maka pertolongan Allah akan datang, jadi kondisi itu hanyalah sebuah anak tangga menuju kesabaran.�
Demikianlah, seberkas cahanya telah merasuk dalam dinding kalbunya, hingga saat adzan shubuh terdengar, kakinya ringan melangkah menuju masjid. Ketika pagi telah menjelang, iapun berjalan menuju kantor dengan raut wajah yang terang, sorot matanyapun berbinar tidak nampak kelesuan disana. Langkahnyapun terlihat tegap, seolah langkah menuju ke tempat yang selama ini ia rindukan.
Terang wajahnya, dan berbinar sorot matanya, bukan karena ia di kantor tidak akan menemui orang � orang yang tak mempedulikannya, namun karena ia yakin, bahwa Allah telah menganugerahi anak tangga menuju kesabaran, yang selama ini ia cita-citakan.
Wallahu a�lam.
Kesungguhan Kunci Sukses Anda
Anda pernah mengalami kegagalan? Pernah kecewa karena apa yang anda harapkan berakhir dengan kehampaan? Atau mungkin anda merasa seakan-akan jatuh dari langit karena cita-cita anda tidak tercapai? Saya ucapkan SELAMAT!!! CONGRATULATION!!! Karena tanda-tanda kesuksesan sudah di depan mata. Andalah calon orang-orang sukses. Lho koq...Bagaimana bisa kegagalan, kekecewaan dianggap sebagai tanda-tanda kesuksesan? Okey, anda boleh tidak setuju dengan pendapat saya, tetapi coba anda ingat-ingat lagi. Setelah mengalami kegagalan, kekecewaan dan pengalaman menyakitkan, pelajaran apa yang anda dapatkan? Merenungi nasib dengan mengurung diri di kamar? Menangis sepanjang hari? Atau justru anda menyadari kesalahan anda, kemudian bangkit dari keterpurukan? Jika jawaban anda adalah dua hal pertama yang saya sebutkan, maka lebih baik anda siap-siap angkat koper dari kehidupan nyata ini, dan ucapkan SELAMAT TINGGAL KESUKSESAN! Tetapi jika jawaban yang keluar dari bibir anda adalah hal terakhir yang saya sebutkan, maka saya ucapkan SELAMAT DATANG DI PINTU GERBANG KESUKSESAN. Inilah yang saya maksud dengan ucapan SELAMAT bagi anda yang pernah mengalami kegagalan dan kekecewaan, kemudian bangkit menyusun asa baru, menjemput impian yang sesunggunya. Kita mundur selangkah, tetapi untuk menyusun beberapa langkah baru yang mengagumkan. Banyak kisah orang sukses bermula dari kegagalan. Sebut saja beberapa contoh. Thomas Alfa Edison misalnya, penemu bola lampu itu dalam proses menciptakan bola lampu mengalami kegagalan sebanyak 9999 kali. Apakah dia merasa gagal setelah ribuan eksperimennya tidak juga menunjukkan hasil. �Aku tidak gagal, aku berhasil membuktikan bahwa 9.999 jenis bahan mentah itu tidak bisa dipakai. Aku akan meneruskan percobaan ini sampai menemukan bahan yang cocok�, demikian ungkapnya. Hal serupa juga dialami bintang laga Hollywood, Sylvester Stallone. Untuk memasarkan filmnya bertajuk �Rocky� dia ditolak 1855 kali. Tapi apa yang terjadi kemudian? Karena ketekunan serta semangat pantang menyerah yang tertancap dalam jiwanya, ia berhasil membuktikan bahwa usahanya tidak sia-sia. Setelah sebuah rumah produksi (PH) kecil menerima tawarannya untuk bekerjasama membuat film tersebut, ternyata Film bertajuk �Rocky� menjadi Box Office, bahkan dibuat hingga IV seri. Luar biasa bukan? Ya, dua contoh di atas hanyalah sepenggal kisah dari orang-orang sukses. Di luar sana, masih banyak lagi cerita sukses dari orang-orang besar yang bermula dari kegagalan demi kegagalan. Sejarah membuktikan, hanya orang-orang yang punya kesungguhan, semangat juang yang tinggi, serta pantang menyerah, yang akan menuai kesuksesan dalam segala hal. Proses untuk �menjadi seseorang�, perjalanan from zero to hero, tidak dapat ditempuh dengan cara instant, sim salabim abrakadabra, seperti kerap dijumpai dalam cerita dongeng, tetapi dibutuhkan �kristalisasi keringat�---meminjam istilah Tukul Arwana--- dan perjuangan tak kenal lelah. Proses inilah yang pada gilirannya membentuk sikap orang-orang sukses senantiasa bermental baja. Ironisnya, banyak orang ingin mencapai kesuksesan, tetapi tidak sabar menjalani proses menuju sukses. Bukankah semakin tinggi pohon, semakin besar juga angin yang menerpanya? Itulah hukum alam. Kalau tidak ingin diterpa angin yang besar, silakan jadi rumput. Tidak diterpa angin besar, memang, tetapi diinjak-injak orang. Meminjam istilah jawa, jer besuki mawa bea, kalau ingin meraih kesuksesan, harus melaui perjuangan dan pengorbanan. No free lunch, kata orang bule, tidak ada makan siang gratis. So, l�histoire se repete, sejarah selalu berulang. Orang-orang sukses lahir dari pribadi-pribadi tangguh, jiwa-jiwa yang tak kenal kata putus asa, selalu bersungguh-sungguh dalam segala hal dengan disertai untaian doa kepada Yang Maha Kuasa. Nah, sekarang giliran anda...Ingin mencapai sukses seperti mereka yang berjiwa besar, dengan konsekuensi melewati perjuangan tak kenal lelah dan kristalisasi keringat, ataukah menjadi manusia-manusia lemah dengan jiwa kerdil yang tidak tahan menghadapi cobaan hidup? Semua terserah anda... * Didi Junaedi (didijunaedi_hz@yahoo.com, Pemilik blog �Secercah Harap� http://didijunaedihz.wordpress.com) |
Ikhlas Tidak Ikhlas
Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang manfaat berbagi dan sedekah untuk meningkatkan kekayaan. Beberapa hari kemudian, ada pertanyaan yang menggelitik saya, dan terus terang saat itu saya belum menemukan penjelasan secara �rasional� dapat diterima sang penanya. Si penanya ini mengatakan, �Mengapa kita ibadah, berbuat baik atau bersedekah kok minta imbalan kepada Allah? Bukankah itu termasuk ibadah yang tidak ikhlas dan punya pamrih?� Kemudian si penanya melanjutkan pertanyaannya, �Kalau mau ibadah, kalau mau sedekah, kalau mau berbagi, ya ibadah saja, sedekah saja, dan berbagi saja. Tidak perlu minta-minta imbalan sama Allah SWT, dan tidak perlu mengait-ngaitkan ibadah dengan kepentingan dunia� Pertanyaan ini memang terlihat benar tapi ternyata belum tentu 100% benar. Maksudnya? Terlihat benar karena memang kalau kita beribadah, ya beribadah saja, biar Allah yang memberikan penilaiannya, biar Allah yang memberikan ganjarannya. Tapi pertanyaan ini belum tentu benar 100% karena bukankah kita juga boleh meminta kepada Allah karena itu perintah-Nya? Lagi pula, kalau kita tidak minta sesuatu kepada Allah, kita minta kepada siapa? Bukankah kalau kita minta selain Allah justru terjerumus pada kemusyrikan? Nah, untuk penjelasan masalah ini, saya seolah mendapatkan pencerahan dari Ustadz Yusuf Mansyur melalui tulisan sebuah group diskusi di internet. Intisarinya sebagaimana dialog berikut ini: (+) Terus terang, saya ini bingung dengan orang-orang diluar sana, karena mereka mengatakan, "Ibadah-ibadah saja... jangan minta-minta sama Allah. Tahajjud, tahajjud saja, jangan tahajjud karena pingin minta ini minta itu sama Allah. Atau, sedekah-sedekah saja, gak usah minta imbalan dari Allah. Masa sih sedekah karena pingin sesuatu? Orang-orang seperti inilah yang saya bingungkan�, kata Luqman. (-) Loh, kenapa kamu ngeributin mereka-mereka itu? Bukannya mereka itu benar karena mengajarkan kemurnian ibadah? (+) Emang... ada benarnya juga sih! Tapi kalau mengajarkan keikhlasan sambil menyekat hamba-Nya dari Allah, apakah masih bisa dibilang bagus? (-) Tapi siapa yang menyekat? Kan mengajarkan keikhlasan? (+) Trus apa dong sebutannya buat mereka yang melarang hamba-Nya meminta sama Allah? Apa itu bukan menyekat? Memberi dinding antara seorang hamba dengan Allah? (-) Ya, enggak gitu dong.... (+) Enggak gitu gimana? (-) Ini kan sekadar mengajarkan keikhlasan..... (+) Guru saya pernah bilang, bila ada yang mengajarkan kebaikan, tapi di saat yang sama mengajarkan keburukan, itulah setan? (-) Maksudnya? (+) Ya, setan'kan masuk lewat pintu ilmu. Satu sisi mengajarkan perbuatan baik harus dilakukan dengan keikhlasan, tapi di sisi yang lain, seseorang tidak diperbolehkannya meminta sama Allah. Apa ini bukan kerjaan setan? (-) Wah, ini mah...terlalu jauh. Masa menyamakan mereka yang berpendapat seperti itu seperti setan? (+) Ya enggak sih. Tapi itu kan cara kerjanya setan. Halus banget!. Kita enggak berani ngebantah perkataan, "ibadah-ibadah saja, jangan minta-minta sama Allah" Iya kan? Enggak berani? Sebab kalau berani membantah berarti tidak ikhlas? (+) Gini... boleh enggak meminta sama Allah? Boleh kan?. Meminta itu berdo'a bukan? (-) Ya... sama dengan berdo'a (+) Jadi... kalau begitu, boleh dong, berdo'a sama Allah? (-) Ya, bolehlah... malah jadi ibadah kan? (+) Terus... boleh enggak seseorang yang tidak ibadah meminta sama Allah? Maksudnya, boleh enggak seseorang yang tidak shalat misalnya, dia berdo'a kepada Allah? (-) Ya... boleh saja dong... berdo'a kan tidak mensyaratkan apa pun, kecuali sebagai akhlak. (+) Jadi, boleh nih...., seorang preman misalnya yang juga tidak sholat, berdo'a kepada Allah? (-) Ya, boleh... meski dia tidak shalat, dia berhak berdo'a. (+) Lah, lalu kenapa orang yang menempuh jalan tahajjud, menempuh jalan sedekah, tidak boleh meminta? (-) Iya ya... kenapa jadi tidak boleh? (+) Anda sendiri'kan yang bilang... sedekah-sedekah saja, tahajjud-tahajjud saja, jangan minta-minta sama Allah? Padahal, mestinya kalimat yang benar itu begini... "tidak tahajjud saja boleh meminta, apalagi tahajjud. Tidak sedekah saja boleh meminta, apalagi bila bersedekah" (-) Oh... iya ya.. bener juga!. (+) Ikhlas itu jangan dikaitkan dengan meminta. Bila seseorang meminta kepada Allah, jangan dikatakan tidak ikhlas dong? (-) Lalu, mestinya dikatakan apa buat seseorang yang bersedekah lantaran dia susah? (+) Kita bisa mengatakan, "Dia sedang menempuh jalan yang diberitahu Allah dan Rasul-Nya" Ketika Allah bilang bahwa Allah akan membantu siapa pun yang mau membantu sesama, lalu ada seseorang yang keluar dari rumahnya dan dia membantu orang lain karena dia ingin kesusahannya dibantu Allah, apa orang ini salah, apa orang ini tidak ikhlas? Bukankah ini berarti dia sedang mempraktikkan cara-cara Allah? Dan berarti dia dapat pahala tersendiri, yaitu pahala menjawab seruan Allah, pahala nurut sama Allah, pahala percaya sama Allah?. (-) Tapi.... kayaknya masih enggak bener... (+) Enggak bener gimana? (-) Ya... ibadah'kan harusnya murni, ikhlas, tanpa minta-minta imbalan? (+) Ya itu tadi... mungkin pemahaman ikhlasnya yang salah. Mestinya ikhlas itu tidak dikaitkan dengan do'a, dengan permintaan. Kasihan hamba Allah yang memang ingin sesuatu dari Allah, dan Allah memang membuka pintu-Nya kepada hamba-Nya yang mau menegakkan ibadah. Tapi, lebih kasihan lagi kepada orang-orang yang tidak tahu bagaimana caranya merayu Allah. (-) Jadi, tetap disebut ikhlas nih, bila seseorang beribadah karena sesuatu dari Allah? (+) Kalimatnya barangkali begini, orang itu punya tauhid yang bagus. Punya iman yang bagus. Karena dia percaya HANYA dengan cara yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya, lalu dia tempuh jalan itu. Secara sederhananya, disebut tidak ikhlas itu kalau ia ngomongin amal pribadinya ke kiri dan ke kanan, kepada siapa saja, dengan maksud riya atau sombong, sum'ah atau berbangga diri. Kalau ke Allah itu namanya do'a, harapan, permintaan, munajat. Saya percaya sama Allah. Percaya sama cara-cara-Nya Allah. Allah bilang, kalau mau begini, harus begitu. Kalau mau begitu, harus begini. Lalu saya ikutin itu. Ini namanya tunduk, patuh, dan taat. Sekali lagi, ini namanya keutamaan dari percaya sama Allah. Allah suka dengan hamba-Nya yang banyak meminta. Supaya tetap terhubung dengan Allah, maka jadilah orang-orang yang senantiasa butuh sama Allah. Salah satu caranya adalah dengan banyak meminta kepada Allah. Dikabulkan yang satu, minta lagi yang lain. Terus begitu. Enggak apa-apa. Mestinya seseorang yang merasa perlu sama Allah tidak menghentikan ibadahnya, tidak menghentikan do'anya, melainkan dia terus-menerus memelihara ibadahnya dan terus-menerus berdo'a. Allah senang bila hamba-Nya mau meminta pada-Nya. Allah tidak akan pernah merasa keberatan dan tidak akan pernah merasa bosan bila ada hamba-Nya yang meminta dan meminta terus. Percayalah... kepada Allah mah jangan takut meminta, apalagi jika Anda punya amal yang hebat, Anda disayang Allah. Memintalah, maka Allah akan memenuhi apa yang kita minta. "... Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku..." (QS. al-Baqarah: 186)? "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah : 186) Justru bila ada hamba-Nya yang tidak mau meminta, itu aneh. Minta saja sama Allah, minta ampunan Allah, minta cinta dan kasih sayangnya Allah, minta ridha dan perlindungan-Nya, dan seterusnya. Pokoknya sama Allah mah minta...minta... dan minta... terus meminta. Tentu saja, akan lebih baik bila permintaan bertambah, ibadah juga bertambah. Jadi, memintalah kepada Allah. Sebab meminta itu adalah ibadah seorang hamba kepada Allah, Khaliqnya. Begitulah urusan ibadah dan minta-minta kepada Allah. Lagi pula, kalau kita tidak minta sama Allah, lalu minta kepada siapa? Sebab yang namanya pamrih, itu kalau kita berbuat sesuatu bukan karena Allah, tetapi karena manusia. Jadi sekali lagi, bersedekahlah, berbagilah, dan berdo�alah kepada Allah! Wallahu�alam bisshawaab |
Daya Ungkit Finansial
Kali ini saya ingin mengajak Anda berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan, “Apakah seseorang yang berpenghasilan ratusan juta bahkan miliaran setiap tahunnya itu memiliki kemampuan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan kali dari kemampuan rata - rata orang? Apakah seorang presiden juga memiliki Intelligent Quotient (IQ) atau kemampuan lainnya 100 kali dari rata - rata kemampuan rakyatnya?” Saya yakin Anda akan menjawab, “Tentu saja tidak!” Lalu apa yang membedakan mereka (orang-orang sukses) berbeda dengan orang biasa? Orang sukses atau orang kaya biasanya memiliki ‘kecerdikan’ untuk memanfaatkan kemampuan dirinya dan memanfaatkan sumber daya orang lain. Sesungguhnya orang sukses dan orang kaya dibandingkan dengan orang-orang gagal atau orang miskin memiliki perbedaan yang sangat tipis. Perbedaannya hanya pada ‘kecerdikan’ tersebut.
Mengapa seseorang yang sudah bekerja keras –ibaratnya kaki ditaruh di kepala, kepala dijadikan kaki- tapi tidak mengalami perubahan siginifikan dalam hidupnya, bahkan sampai usia lanjut pun hidup mereka ‘biasa - biasa’ saja?. Ada beberapa kemungkinan mengenai hal ini. Salah satunya karena mereka tidak bekerja secara ‘cerdas’ dengan memanfaatkan kiat - kiat orang sukses. Mereka lebih mengandalkan bekerja keras –bahkan kerja sangat sangat keras sekali– namun tidak mau belajar dan atau bekerjasama dengan orang lain. Mereka bekerja sendiri! Padahal apabila mau memanfaatkan ‘daya ungkit’ –suatu cara yang mampu mengantarkan sukses lebih cepat- maka usaha menjadi lebih mudah dan lebih ringan. Kita dapat menganalogkan ‘daya ungkit’ sebagai sebuah dongkrak mobil atau alat pengungkit. Sebuah mobil bila bannya bocor tidak mungkin kita angkat sendiri untuk mengganti ban. Kita membutuhkan dongkrak untuk mengangkat mobil agar lebih mudah dan ringan. Demikian juga kita dapat menggeser batu besar, dengan tenaga minimal karena menggunakan alat pengungkit. Begitulah perumpamaannya.
Demikian juga untuk melipatgandakan kekayaan. Menurut Tung Desem Waringin dalam buku Financial Revolution (2005), untuk melipatgandakan kekayaan atau mendapatkan uang dengan cepat dapat menggunakan rumus berikut :
ADDED VALUES x LEVERAGE
Leverage berarti pengungkit atau pendongkrak, yakni alat bantu yang memudahkan atau mempercepat pencapaian tujuan. Untuk menjelaskan rumus diatas -perpaduan antara added values (nilai tambah) dengan leverage (pengungkit) sehingga bisa menghasilkan banyak uang, berikut saya berikan cerita yang saya kutip dari sebuah majalah –Agustus 2005. Sebut saja PT A– perusahaan properti di Yogjakarta, yang hanya dalam waktu lima tahun mampu masuk dalam jajaran tiga besar pengembang dengan omset ratusan miliar dan berhasil membangun 40 lokasi perumahan. Padahal ketika perusahaan ini didirikan oleh kakak beradik Mr BI dan Mr AF, hanya bermodalkan Rp65 juta (1999). Mereka mengembangkan bisnis dengan strategi menjalin kerjasama dengan pemilik uang (=leverage, pengungkit) dengan pembagian 60:40 dari laba bersih. Enam puluh persen untuk developer dan empat puluh persen untuk investor. Kerjasama ini dilakukan dengan transparan karena investor bisa mengetahui seluruh biaya operasional dari proyek yang dijalankan. Bahkan investor bisa ikut menentukan berapa nilai jual proyek (=added values, nilai tambah). Uang orang lain tersebut sebagai daya ungkit karena bagi PT A, bila hanya mengandalkan uang sendiri yang sangat terbatas, maka bisnisnya tidak akan cepat berkembang. Sedangkan transparansi dan pengelolaan bersama adalah nilai tambahnya, karena tidak semua perusahaan menerapkan sistem seperti itu. Biasanya pengelola bisnis merasa tidak nyaman dengan keikutsertaan investor dalam urusan manajemen. Jadi itu bisa disebut nilai tambah.Menurut Robert G. Allen dalam buku The One Minute Millionaire, ada lima leverage yang dapat digunakan sebagai pondasi dalam meraih kekayaan yaitu mentor (pembimbing), tim yang kuat, jaringan, peralatan dan sistem. Kelima leverages itu akan memberikan daya ungkit yang luar biasa dalam membangun kekayaan melalui :
1. Uang orang lain Di dunia ini selalu ada orang yang memiliki uang berlimpah, namun tidak memiliki waktu untuk mengembangkan uangnya, tidak memiliki cukup keahlian untuk berbisnis, atau berbagai alasan lain. Ada juga orang yang kekurangan uang (memiliki modal terbatas) tapi banyak ide kreatif, semangat dan etos kerja yang tinggi. Inilah yang menyebabkan adanya supply (penawaran) dan demand (permintaan) kerjasama dalam pengelolaan keuangan. Kondisi ini pula yang melahirkan industri perbankan sebagai lembaga intermediasi (menghimpun dan menyalurkan) dana masyarakat. Sesungguhnya kita dapat memanfaatkan kondisi itu untuk meningkatkan finansial. Bagaimana caranya? Salah satunya, kita dapat mengambil hutang di bank atau bekerjasama dengan pemilik dana untuk membiayai proyek - proyek produktif maupun properti. Bila hal itu belum bisa dilakukan karena kita belum dipercaya pemilik modal, kita bisa memulai dengan menjadi broker atau perantara jual beli barang seperti properti. Kita bisa mendapatkan keuntungan meski tidak memiliki modal sama sekali. Dar broker kemudian kita akan meningkat menjadi orang yang dipercaya untuk mengelola uang pemilik modal maupun perbankan. Banyak kisah sukses orang - orang yang berhasil memanfaatkan daya ungkit ini (menggunakan uang orang lain atau bank) dan yang paling nyata adalah sebagian besar konglomerat.
2. Pengalaman orang lain. Kita memerlukan pengalaman-pengalaman orang lain sebagai pelajaran yang berharga. Pengalaman itu bisa dari kesuksesan orang lain. Bisa juga dari pengalaman kegagalan seseorang. Pengalaman bisa mengajarkan apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan. Bagaimana strategi orang-orang kaya meraih kekayaannya dapat kita contoh. Kita juga butuh mentor (pembimbing) untuk membantu meraih tujuan-tujuan yang diinginkan, termasuk tujuan keuangan. Dengan mentor, kita dapat belajar secara cepat. Meski kita dapat meraih suatu impian atau tujuan menggunakan cara sendiri, namun kita harus melakukan try and error alias coba–coba sehingga butuh waktu lama untuk sampai tujuan. Tentu akan lebih efektif bila kita memiliki cara-cara yang sudah terbukti keberhasilannya dengan ‘ramuan’ yang sudah pas. ‘Ramuan’ itu biasanya dari pengalaman orang lain.Contoh sederhananya, ketika Anda ingin membuat nasi goreng. Meski Anda sudah mendapatkan resepnya, belum tentu nasi gorengnya lezat. Meski ukuran bumbunya sudah sama persis dengan teori yang Anda dapatkan, bisa jadi nasi gorengnya terlalu kering, terlalu manis atau terlalu basah. Kemungkinan ini bisa terjadi hanya karena kesalahan sedikit saat Anda memasak. Misalnya Anda mendahulukan menggoreng nasi kemudian bumbunya, maka hasilnya pasti berbeda bila bumbunya lebih dulu kemudian nasinya. Hal-hal kecil seperti itulah yang kita butuhkan dari pengalaman orang lain.Bukti bahwa pengalaman maupun mentor kita perlukan, Anda dapat menyaksikan orang-orang sukses seperti Bill Clinton, Andre Agassi, Nelson Mandela dan Lady Di. Mereka sukses dibidangnya masing-masing karena memiliki mentor yaitu Anthony Robbins.
3. Ide orang lain. Anda tentu kenal Henry Ford. Pendiri perusahaan otomotif Ford Motor tersebut pernah mengatakan, “Saya tidak pernah berpikir: Mengapa saya harus menciptakan produk yang belum ada. Saya selalu berpikir: Mengapa saya tidak menciptakan produk yang lebih baik dari yang sudah ada?” Apa yang dikatakan Ford memberikan pelajaran bahwa kalau ingin sukses berbisnis maupun finansial, kita tidak harus berpikir mencari ide yang benar-benar baru. Namun kita bisa menambahkan atau menyempurnakan ide yang sudah ada menjadi lebih baik. Kita boleh meniru ide, bisnis atau kiat-kiat orang lain. Tidak perlu malu mencontek!. Bila ada ide bagus, tidak ada salahnya ditiru. Tapi hal yang paling penting dalam mencontek ide atau bisnis adalah menggunakan rumus ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).
4. Pekerjaan orang lain. Seringkali dalam bisnis atau pekerjaan yang kita lakukan itu akan lebih baik dan lebih efisien bila dikerjasamakan dengan orang lain. Sama seperti perusahaan mobil yang memberikan sub kontrak untuk spare part tertentu kepada vendor, misalnya jok mobil, ban, kampas rem. Demikian juga bila Anda mulai merintis bisnis, pada awal usaha kita boleh mengurus sendiri urusan bisnis mulai dari A – Z, mulai dari pemasaran, mencari modal kerja, mengantar barang, memproduksi barang, menagih dan sebagainya. Akan tetapi bila itu Anda lakukan selamanya, lama kelamaan Anda kecapaian!. Maka sebaiknya Anda berpikir untuk mendelegasikan kepada orang lain.
5. Waktu orang lain.Waktu sehari semalam adalah sama bagi setiap orang yakni 24 jam. Jumlah waktu tersebut masih harus dikurangi dengan istirahat, tidur, ibadah dan kegiatan lain. Hasil sebuah penelitian yang dikutip oleh Promod Brata dalam buku Born to Win menyebutkan bahwa dari umur hidup seseorang yang mencapai 70 tahun, ternyata hanya tersisa waktu efektif 12 tahun untuk bekerja. Rata-rata 25 tahun untuk tidur, 8 tahun untuk belajar, 6 tahun untuk istirahat dan sakit, 7 tahun untuk liburan/rekreasi, 5 tahun untuk komunikasi, 4 tahun untuk makan dan 3 tahun untuk transisi yaitu persiapan untuk melakukan semua aktivitas diatas. Dengan memperhatikan realitas diatas, waktu yang tersedia untuk mencapai tujuan hidup ini relatif kecil. Bila orang hanya bekerja menggunakan waktunya sendiri, maka akan biasanya akan lama sampai tujuan. Maka, mau tidak mau, suka atau tidak, kita membutuhkan waktu orang lain untuk membantu meraih tujuan hidup, termasuk meraih kesuksesan finansial.
Tulisan ini diambil dari Majalah Nurul Hayat - Nopember 2008
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=257
Mengapa seseorang yang sudah bekerja keras –ibaratnya kaki ditaruh di kepala, kepala dijadikan kaki- tapi tidak mengalami perubahan siginifikan dalam hidupnya, bahkan sampai usia lanjut pun hidup mereka ‘biasa - biasa’ saja?. Ada beberapa kemungkinan mengenai hal ini. Salah satunya karena mereka tidak bekerja secara ‘cerdas’ dengan memanfaatkan kiat - kiat orang sukses. Mereka lebih mengandalkan bekerja keras –bahkan kerja sangat sangat keras sekali– namun tidak mau belajar dan atau bekerjasama dengan orang lain. Mereka bekerja sendiri! Padahal apabila mau memanfaatkan ‘daya ungkit’ –suatu cara yang mampu mengantarkan sukses lebih cepat- maka usaha menjadi lebih mudah dan lebih ringan. Kita dapat menganalogkan ‘daya ungkit’ sebagai sebuah dongkrak mobil atau alat pengungkit. Sebuah mobil bila bannya bocor tidak mungkin kita angkat sendiri untuk mengganti ban. Kita membutuhkan dongkrak untuk mengangkat mobil agar lebih mudah dan ringan. Demikian juga kita dapat menggeser batu besar, dengan tenaga minimal karena menggunakan alat pengungkit. Begitulah perumpamaannya.
Demikian juga untuk melipatgandakan kekayaan. Menurut Tung Desem Waringin dalam buku Financial Revolution (2005), untuk melipatgandakan kekayaan atau mendapatkan uang dengan cepat dapat menggunakan rumus berikut :
ADDED VALUES x LEVERAGE
Leverage berarti pengungkit atau pendongkrak, yakni alat bantu yang memudahkan atau mempercepat pencapaian tujuan. Untuk menjelaskan rumus diatas -perpaduan antara added values (nilai tambah) dengan leverage (pengungkit) sehingga bisa menghasilkan banyak uang, berikut saya berikan cerita yang saya kutip dari sebuah majalah –Agustus 2005. Sebut saja PT A– perusahaan properti di Yogjakarta, yang hanya dalam waktu lima tahun mampu masuk dalam jajaran tiga besar pengembang dengan omset ratusan miliar dan berhasil membangun 40 lokasi perumahan. Padahal ketika perusahaan ini didirikan oleh kakak beradik Mr BI dan Mr AF, hanya bermodalkan Rp65 juta (1999). Mereka mengembangkan bisnis dengan strategi menjalin kerjasama dengan pemilik uang (=leverage, pengungkit) dengan pembagian 60:40 dari laba bersih. Enam puluh persen untuk developer dan empat puluh persen untuk investor. Kerjasama ini dilakukan dengan transparan karena investor bisa mengetahui seluruh biaya operasional dari proyek yang dijalankan. Bahkan investor bisa ikut menentukan berapa nilai jual proyek (=added values, nilai tambah). Uang orang lain tersebut sebagai daya ungkit karena bagi PT A, bila hanya mengandalkan uang sendiri yang sangat terbatas, maka bisnisnya tidak akan cepat berkembang. Sedangkan transparansi dan pengelolaan bersama adalah nilai tambahnya, karena tidak semua perusahaan menerapkan sistem seperti itu. Biasanya pengelola bisnis merasa tidak nyaman dengan keikutsertaan investor dalam urusan manajemen. Jadi itu bisa disebut nilai tambah.Menurut Robert G. Allen dalam buku The One Minute Millionaire, ada lima leverage yang dapat digunakan sebagai pondasi dalam meraih kekayaan yaitu mentor (pembimbing), tim yang kuat, jaringan, peralatan dan sistem. Kelima leverages itu akan memberikan daya ungkit yang luar biasa dalam membangun kekayaan melalui :
1. Uang orang lain Di dunia ini selalu ada orang yang memiliki uang berlimpah, namun tidak memiliki waktu untuk mengembangkan uangnya, tidak memiliki cukup keahlian untuk berbisnis, atau berbagai alasan lain. Ada juga orang yang kekurangan uang (memiliki modal terbatas) tapi banyak ide kreatif, semangat dan etos kerja yang tinggi. Inilah yang menyebabkan adanya supply (penawaran) dan demand (permintaan) kerjasama dalam pengelolaan keuangan. Kondisi ini pula yang melahirkan industri perbankan sebagai lembaga intermediasi (menghimpun dan menyalurkan) dana masyarakat. Sesungguhnya kita dapat memanfaatkan kondisi itu untuk meningkatkan finansial. Bagaimana caranya? Salah satunya, kita dapat mengambil hutang di bank atau bekerjasama dengan pemilik dana untuk membiayai proyek - proyek produktif maupun properti. Bila hal itu belum bisa dilakukan karena kita belum dipercaya pemilik modal, kita bisa memulai dengan menjadi broker atau perantara jual beli barang seperti properti. Kita bisa mendapatkan keuntungan meski tidak memiliki modal sama sekali. Dar broker kemudian kita akan meningkat menjadi orang yang dipercaya untuk mengelola uang pemilik modal maupun perbankan. Banyak kisah sukses orang - orang yang berhasil memanfaatkan daya ungkit ini (menggunakan uang orang lain atau bank) dan yang paling nyata adalah sebagian besar konglomerat.
2. Pengalaman orang lain. Kita memerlukan pengalaman-pengalaman orang lain sebagai pelajaran yang berharga. Pengalaman itu bisa dari kesuksesan orang lain. Bisa juga dari pengalaman kegagalan seseorang. Pengalaman bisa mengajarkan apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan. Bagaimana strategi orang-orang kaya meraih kekayaannya dapat kita contoh. Kita juga butuh mentor (pembimbing) untuk membantu meraih tujuan-tujuan yang diinginkan, termasuk tujuan keuangan. Dengan mentor, kita dapat belajar secara cepat. Meski kita dapat meraih suatu impian atau tujuan menggunakan cara sendiri, namun kita harus melakukan try and error alias coba–coba sehingga butuh waktu lama untuk sampai tujuan. Tentu akan lebih efektif bila kita memiliki cara-cara yang sudah terbukti keberhasilannya dengan ‘ramuan’ yang sudah pas. ‘Ramuan’ itu biasanya dari pengalaman orang lain.Contoh sederhananya, ketika Anda ingin membuat nasi goreng. Meski Anda sudah mendapatkan resepnya, belum tentu nasi gorengnya lezat. Meski ukuran bumbunya sudah sama persis dengan teori yang Anda dapatkan, bisa jadi nasi gorengnya terlalu kering, terlalu manis atau terlalu basah. Kemungkinan ini bisa terjadi hanya karena kesalahan sedikit saat Anda memasak. Misalnya Anda mendahulukan menggoreng nasi kemudian bumbunya, maka hasilnya pasti berbeda bila bumbunya lebih dulu kemudian nasinya. Hal-hal kecil seperti itulah yang kita butuhkan dari pengalaman orang lain.Bukti bahwa pengalaman maupun mentor kita perlukan, Anda dapat menyaksikan orang-orang sukses seperti Bill Clinton, Andre Agassi, Nelson Mandela dan Lady Di. Mereka sukses dibidangnya masing-masing karena memiliki mentor yaitu Anthony Robbins.
3. Ide orang lain. Anda tentu kenal Henry Ford. Pendiri perusahaan otomotif Ford Motor tersebut pernah mengatakan, “Saya tidak pernah berpikir: Mengapa saya harus menciptakan produk yang belum ada. Saya selalu berpikir: Mengapa saya tidak menciptakan produk yang lebih baik dari yang sudah ada?” Apa yang dikatakan Ford memberikan pelajaran bahwa kalau ingin sukses berbisnis maupun finansial, kita tidak harus berpikir mencari ide yang benar-benar baru. Namun kita bisa menambahkan atau menyempurnakan ide yang sudah ada menjadi lebih baik. Kita boleh meniru ide, bisnis atau kiat-kiat orang lain. Tidak perlu malu mencontek!. Bila ada ide bagus, tidak ada salahnya ditiru. Tapi hal yang paling penting dalam mencontek ide atau bisnis adalah menggunakan rumus ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).
4. Pekerjaan orang lain. Seringkali dalam bisnis atau pekerjaan yang kita lakukan itu akan lebih baik dan lebih efisien bila dikerjasamakan dengan orang lain. Sama seperti perusahaan mobil yang memberikan sub kontrak untuk spare part tertentu kepada vendor, misalnya jok mobil, ban, kampas rem. Demikian juga bila Anda mulai merintis bisnis, pada awal usaha kita boleh mengurus sendiri urusan bisnis mulai dari A – Z, mulai dari pemasaran, mencari modal kerja, mengantar barang, memproduksi barang, menagih dan sebagainya. Akan tetapi bila itu Anda lakukan selamanya, lama kelamaan Anda kecapaian!. Maka sebaiknya Anda berpikir untuk mendelegasikan kepada orang lain.
5. Waktu orang lain.Waktu sehari semalam adalah sama bagi setiap orang yakni 24 jam. Jumlah waktu tersebut masih harus dikurangi dengan istirahat, tidur, ibadah dan kegiatan lain. Hasil sebuah penelitian yang dikutip oleh Promod Brata dalam buku Born to Win menyebutkan bahwa dari umur hidup seseorang yang mencapai 70 tahun, ternyata hanya tersisa waktu efektif 12 tahun untuk bekerja. Rata-rata 25 tahun untuk tidur, 8 tahun untuk belajar, 6 tahun untuk istirahat dan sakit, 7 tahun untuk liburan/rekreasi, 5 tahun untuk komunikasi, 4 tahun untuk makan dan 3 tahun untuk transisi yaitu persiapan untuk melakukan semua aktivitas diatas. Dengan memperhatikan realitas diatas, waktu yang tersedia untuk mencapai tujuan hidup ini relatif kecil. Bila orang hanya bekerja menggunakan waktunya sendiri, maka akan biasanya akan lama sampai tujuan. Maka, mau tidak mau, suka atau tidak, kita membutuhkan waktu orang lain untuk membantu meraih tujuan hidup, termasuk meraih kesuksesan finansial.
Tulisan ini diambil dari Majalah Nurul Hayat - Nopember 2008
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=257
Uang Tidak Mengenal Saudara
Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan dua orang yang memiliki permasalahan keuangan yang mirip tapi tidak sama. Kebetulan, kedua orang ini sudah saya kenal dengan baik. Saat bertemu dengan orang pertama, sebut saja Ibu Abadi, awalnya kami hanya ngobrol ringan soal kondisi kesehatan, anak-anak dan perbincangan ringan lainnya. Namun setelah hampir setengah jam berlalu, obrolan kami mulai menghangat karena Ibu Abadi mulai menceritakan masalah yang terjadi pada keluarganya. Ibu Abadi yang sudah setengah baya ini menceritakan hubungannya yang kurang harmonis dengan menantunya. Sejak ditinggal oleh sang suami satu setengah tahun lalu, bisnis keluarganya diserahkan pengelolaannya kepada sang menantu. Hal ini dilakukan karena dari keenam anaknya, tidak ada satu pun yang mau meneruskan bisnisnya. Alasannya bermacam-macam, mulai karena ada yang menetap di luar negeri, ada yang sudah bekerja di perusahaan lain dan ada pula yang masih kuliah.
Pada awalnya, Ibu ini merasa senang atas kesediaan sang menantu untuk mengurus bisnis warisan ini. Bahkan Ibu mertua ini sempat menganggap sang menantu sebagai penyelamat perusahaan, karena selama dikelola oleh menantunya, perusahaan warisan ini semakin tertata bahkan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi sayangnya, setelah berjalan hampir 1,5 tahun, hubungan antara ibu mertua dan menantu mulai tidak harmonis. Ibu mertua yang selama ini bisa dengan leluasa mengelola keuangan perusahaan, kini hak aksesnya mulai dibatasi oleh menantunya, dengan alasan agar pengelolaan keuangan lebih tertata. Sang mertua pun mulai curiga kepada menantunya karena ia tidak tahu berapa jatah/gaji yang diambil menantunya, karena selama ini tidak ada kesepakatan besarnya gaji.
Situasi semakin meruncing karena mereka sudah mulai menunjukkan sikap saling curiga. Sang mertua pun mulai khawatir akan nasib perusahaan ini di masa mendatang. Ia khawatir kalau pada saatnya nanti perusahaan ini benar-benar dikuasai oleh menantunya, meski sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa pengelolaan perusahaan ini hanya 3 tahun dan untuk selanjutnya akan diserahkan kembali kepada putera terakhirnya yang saat itu diperkirakan sudah lulus kuliah.
Masalah-masalah yang terjadi dalam perusahaan tersebut kini mulai dibawa ke rumah tangga. Sang menantu, yang kebetulan tinggal satu rumah besar dengan mertuanya, mulai menunjukkan perilaku �aneh�. Ia mulai tidak betah tinggal di rumah mertuanya. Demikian juga sang mertua mulai �gerah� melihat perilaku menantunya.
Selanjutnya, inilah cerita kedua, dari keluarga yang berbeda, yakni keluarga Belia, keluarga muda yang baru membina hubungan keluarga sejak 3 tahun lalu. Di usia perkawinannya yang masih muda, keluarga ini sudah �memelihara� konflik yang juga bersumber dari keuangan, seperti keluarga pertama. Konflik keluarga Belia ini bermula karena dipicu oleh sang suami yang belum mampu memberikan nafkah yang memadai kepada istrinya. Meski berbagai usaha untuk mendapatkan penghasilan sudah dilakukan, mulai dari mengirim ratusan lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan maupun mencoba merintis bisnis, namun nafkah layak tak kunjung didapatkan. Untuk kebutuhan hidup, semuanya ditanggung oleh sang istri yang sudah memiliki bisnis sejak sebelum menikah.
Di tengah keputusasaan sang suami mendapatkan penghasilan, maka timbullah ide dari sang suami untuk ikut bergabung dalam bisnis istrinya. Sang istri tidak keberatan dengan solusi seperti itu. Singkat cerita, suami istri ini bekerja bersama membangun perusahaan keluarga. Enam bulan pertama tidak ada masalah. Namun menginjak bulan berikutnya, hubungan keluarga ini mulai kurang harmonis. Ketidakharmonisan itu ternyata dipicu oleh ketidakjelasan hubungan kerja dalam mengelola bisnis maupun mengelola keuangan. Sang istri menganggap suaminya hanya membantu sementara dalam bisnisnya, sehingga tidak perlu diberikan gaji dan cukup �uang rokok� saja. Sementara sang suami merasa bahwa ia telah mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk membantu bisnis, sehingga ia pun merasa berhak mendapatkan lebih dari sekedar �uang rokok� saja.
Apa yang saya sampaikan melalui kedua cerita diatas, hanyalah sebagian dari potret hubungan keluarga di sekeliling kita. Saya yakin masih banyak masalah-masalah sejenis yang seringkali dibiarkan saja menjadi bom waktu dan akhirnya meledak menghancurkan hubungan keluarga hingga berujung pada pertengkaran, sampai perceraian.
Lalu, apa sih penyebab permasalahan kedua keluarga diatas? Akar permasalahannya memang bisa bermacam-macam. Tapi dalam pembahasan kali ini kita akan fokus pada masalah keuangan sebagai pemicunya. Salah satunya adalah karena tidak ada kejelasan hubungan dalam pengelolaan keuangan maupun pengelolaan bisnis. Masing-masing keluarga diatas masih menganggap bahwa pola hubungan bisnis maupun pola hubungan pengelolaan keuangan adalah sama seperti hubungan lainnya dalam keluarga, yang bisa dilakukan secara kekeluargaan. Padahal pengelolaan uang maupun bisnis seharusnya tidak dilakukan secara �kekeluargaan� dengan budaya ewuh pekewuh.
Lalu bagaimana solusinya? Setiap keluarga sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, setiap anggota keluarga harus paham, bahwa uang itu tidak mengenal anak maupun saudara. Ya� uang memang tidak mengenal saudara, tidak mengenal adik, kakak, bahkan orang tua pun uang tidak mengenalnya. Uang hanya mengenal batas kepemilikan. Uang hanya mengenal siapa pemiliknya. Oleh karena itu, kita harus memperjelas kepemilikan uang. Uang ini milik siapa, bisnis itu milik siapa. Jangankan yang kepemilikannnya tidak jelas, uang maupun bisnis yang kepemilikannya jelas pun masih sangat rentan sebagai pemicu keributan di keluarga. Jadi cara kita dalam mengelola uang maupun bisnis adalah dengan membuatnya secara jelas batas-batas kepemilikan maupun batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pengelola atau pemiliknya. Jangan sampai Anda merasa ewuh pekewuh (sungkan) membicarakan masalah ini.
Kedua, buat kesepakatan untuk memisahkan secara tegas kepemilikan uang maupun kepemilikan bisnis. Dalam dunia bisnis itu ada istilah business entity yakni pengelolaan keuangan bisnis harus dipisahkan dengan keuangan pribadi atau pun keluarga. Keuangan perusahaan adalah milik perusahaan yang harus digunakan untuk keperluan perusahaan. Demikian juga keuangan pribadi sebaiknya tidak dicampur adukkan dengan keuangan perusahaan. Pembukuan masing-masing harus jelas. Dalam kasus kedua keluarga diatas, sebaiknya siapa pun yang ikut mengelola perusahaan harus di gaji. Apabila perusahaan itu milik sang istri, dan suami membantu dalam perusahaan, seharusnya juga digaji sesuai kemampuan perusahaan atau kesepakatan bersama. Termasuk menantu pada kasus keluarga pertama seharusnya dibuatkan perjanjian sejak awal penyerahan pengelolaan bisnis, misalnya berapa gaji yang harus diterima menantu, apa saja kewenangannya dan sebagainya.
Apabila Anda sebagai pemilik perusahaan pun harus bertindak profesional dengan menggaji diri sendiri. Berapa gaji yang wajar buat anda Anda, patokannya adalah berapa kebutuhan hidup wajar dalam sebulan dan berapa Anda harus menabung.
Dengan demikian, bila penghasilan dari bisnis melebihi kebutuhan hidup setiap bulannya, Anda tidak akan �sewenang - wenang� menggunakan uang perusahaan untuk keperluan pribadi/keluarga. Anda bisa menggunakan keuntungan tersebut untuk menambah modal kerja atau ekspansi bisnis.
Bagaimana bila ada kebutuhan uang yang mendesak dan harus diambil dari uang simpanan atau uang perusahaan? Bila kita terpaksa harus menggunakan uang simpanan atau modal perusahaan, maka catatlah itu sebagai hutang. Karena akadnya hutang, maka kita ada �kewajiban� untuk mengembalikan uang tersebut. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kalau setiap bulan kita butuh uang mendesak? Kalau demikian, maka yang perlu di evaluasi adalah penghitungan kembali kebutuhan bulanan, apakah sudah benar-benar mencerminkan kebutuhan yang riil.
Ketentuan ini seharusnya juga bisa diterapkan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Buatlah aturan yang disepakati antara suami istri dalam mengelola keuangan keluarga. Misalnya siapa yang bertanggung jawab atas pengaturan uang bulanan dan berapa yang harus dikeluarkan. Kalau dalam realisasi pengeluaran bulanan diperkirakan melebihi anggaran yang telah disepakati, bagaimana penyelesaiannya. Apakah boleh langsung mengambil tabungan ataukah harus menunda pengeluaran yang lain. Tentu saja, hal-hal kecil ini perlu diatur dan disepakati antara suami istri.
Ketiga, laksanakan dengan konsisten dan evaluasi minimal setahun sekali. Untuk hal-hal yang masih belum dilaksanakan agar dievaluasi penyebabnya sedangkan hal-hal yang sudah bisa dilaksanakan ditingkatkan lebih baik.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip sederhana diatas, saya yakin permasalahan-permasalahan keluarga yang bersumber dari masalah keuangan, tidak akan pernah muncul. Insya Allah kita akan memiliki keluarga yang harmonis.
*) Tulisan ini telah di muat di Majalah Nurul Hayat Surabaya
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=281
Pada awalnya, Ibu ini merasa senang atas kesediaan sang menantu untuk mengurus bisnis warisan ini. Bahkan Ibu mertua ini sempat menganggap sang menantu sebagai penyelamat perusahaan, karena selama dikelola oleh menantunya, perusahaan warisan ini semakin tertata bahkan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi sayangnya, setelah berjalan hampir 1,5 tahun, hubungan antara ibu mertua dan menantu mulai tidak harmonis. Ibu mertua yang selama ini bisa dengan leluasa mengelola keuangan perusahaan, kini hak aksesnya mulai dibatasi oleh menantunya, dengan alasan agar pengelolaan keuangan lebih tertata. Sang mertua pun mulai curiga kepada menantunya karena ia tidak tahu berapa jatah/gaji yang diambil menantunya, karena selama ini tidak ada kesepakatan besarnya gaji.
Situasi semakin meruncing karena mereka sudah mulai menunjukkan sikap saling curiga. Sang mertua pun mulai khawatir akan nasib perusahaan ini di masa mendatang. Ia khawatir kalau pada saatnya nanti perusahaan ini benar-benar dikuasai oleh menantunya, meski sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa pengelolaan perusahaan ini hanya 3 tahun dan untuk selanjutnya akan diserahkan kembali kepada putera terakhirnya yang saat itu diperkirakan sudah lulus kuliah.
Masalah-masalah yang terjadi dalam perusahaan tersebut kini mulai dibawa ke rumah tangga. Sang menantu, yang kebetulan tinggal satu rumah besar dengan mertuanya, mulai menunjukkan perilaku �aneh�. Ia mulai tidak betah tinggal di rumah mertuanya. Demikian juga sang mertua mulai �gerah� melihat perilaku menantunya.
Selanjutnya, inilah cerita kedua, dari keluarga yang berbeda, yakni keluarga Belia, keluarga muda yang baru membina hubungan keluarga sejak 3 tahun lalu. Di usia perkawinannya yang masih muda, keluarga ini sudah �memelihara� konflik yang juga bersumber dari keuangan, seperti keluarga pertama. Konflik keluarga Belia ini bermula karena dipicu oleh sang suami yang belum mampu memberikan nafkah yang memadai kepada istrinya. Meski berbagai usaha untuk mendapatkan penghasilan sudah dilakukan, mulai dari mengirim ratusan lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan maupun mencoba merintis bisnis, namun nafkah layak tak kunjung didapatkan. Untuk kebutuhan hidup, semuanya ditanggung oleh sang istri yang sudah memiliki bisnis sejak sebelum menikah.
Di tengah keputusasaan sang suami mendapatkan penghasilan, maka timbullah ide dari sang suami untuk ikut bergabung dalam bisnis istrinya. Sang istri tidak keberatan dengan solusi seperti itu. Singkat cerita, suami istri ini bekerja bersama membangun perusahaan keluarga. Enam bulan pertama tidak ada masalah. Namun menginjak bulan berikutnya, hubungan keluarga ini mulai kurang harmonis. Ketidakharmonisan itu ternyata dipicu oleh ketidakjelasan hubungan kerja dalam mengelola bisnis maupun mengelola keuangan. Sang istri menganggap suaminya hanya membantu sementara dalam bisnisnya, sehingga tidak perlu diberikan gaji dan cukup �uang rokok� saja. Sementara sang suami merasa bahwa ia telah mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk membantu bisnis, sehingga ia pun merasa berhak mendapatkan lebih dari sekedar �uang rokok� saja.
Apa yang saya sampaikan melalui kedua cerita diatas, hanyalah sebagian dari potret hubungan keluarga di sekeliling kita. Saya yakin masih banyak masalah-masalah sejenis yang seringkali dibiarkan saja menjadi bom waktu dan akhirnya meledak menghancurkan hubungan keluarga hingga berujung pada pertengkaran, sampai perceraian.
Lalu, apa sih penyebab permasalahan kedua keluarga diatas? Akar permasalahannya memang bisa bermacam-macam. Tapi dalam pembahasan kali ini kita akan fokus pada masalah keuangan sebagai pemicunya. Salah satunya adalah karena tidak ada kejelasan hubungan dalam pengelolaan keuangan maupun pengelolaan bisnis. Masing-masing keluarga diatas masih menganggap bahwa pola hubungan bisnis maupun pola hubungan pengelolaan keuangan adalah sama seperti hubungan lainnya dalam keluarga, yang bisa dilakukan secara kekeluargaan. Padahal pengelolaan uang maupun bisnis seharusnya tidak dilakukan secara �kekeluargaan� dengan budaya ewuh pekewuh.
Lalu bagaimana solusinya? Setiap keluarga sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, setiap anggota keluarga harus paham, bahwa uang itu tidak mengenal anak maupun saudara. Ya� uang memang tidak mengenal saudara, tidak mengenal adik, kakak, bahkan orang tua pun uang tidak mengenalnya. Uang hanya mengenal batas kepemilikan. Uang hanya mengenal siapa pemiliknya. Oleh karena itu, kita harus memperjelas kepemilikan uang. Uang ini milik siapa, bisnis itu milik siapa. Jangankan yang kepemilikannnya tidak jelas, uang maupun bisnis yang kepemilikannya jelas pun masih sangat rentan sebagai pemicu keributan di keluarga. Jadi cara kita dalam mengelola uang maupun bisnis adalah dengan membuatnya secara jelas batas-batas kepemilikan maupun batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pengelola atau pemiliknya. Jangan sampai Anda merasa ewuh pekewuh (sungkan) membicarakan masalah ini.
Kedua, buat kesepakatan untuk memisahkan secara tegas kepemilikan uang maupun kepemilikan bisnis. Dalam dunia bisnis itu ada istilah business entity yakni pengelolaan keuangan bisnis harus dipisahkan dengan keuangan pribadi atau pun keluarga. Keuangan perusahaan adalah milik perusahaan yang harus digunakan untuk keperluan perusahaan. Demikian juga keuangan pribadi sebaiknya tidak dicampur adukkan dengan keuangan perusahaan. Pembukuan masing-masing harus jelas. Dalam kasus kedua keluarga diatas, sebaiknya siapa pun yang ikut mengelola perusahaan harus di gaji. Apabila perusahaan itu milik sang istri, dan suami membantu dalam perusahaan, seharusnya juga digaji sesuai kemampuan perusahaan atau kesepakatan bersama. Termasuk menantu pada kasus keluarga pertama seharusnya dibuatkan perjanjian sejak awal penyerahan pengelolaan bisnis, misalnya berapa gaji yang harus diterima menantu, apa saja kewenangannya dan sebagainya.
Apabila Anda sebagai pemilik perusahaan pun harus bertindak profesional dengan menggaji diri sendiri. Berapa gaji yang wajar buat anda Anda, patokannya adalah berapa kebutuhan hidup wajar dalam sebulan dan berapa Anda harus menabung.
Dengan demikian, bila penghasilan dari bisnis melebihi kebutuhan hidup setiap bulannya, Anda tidak akan �sewenang - wenang� menggunakan uang perusahaan untuk keperluan pribadi/keluarga. Anda bisa menggunakan keuntungan tersebut untuk menambah modal kerja atau ekspansi bisnis.
Bagaimana bila ada kebutuhan uang yang mendesak dan harus diambil dari uang simpanan atau uang perusahaan? Bila kita terpaksa harus menggunakan uang simpanan atau modal perusahaan, maka catatlah itu sebagai hutang. Karena akadnya hutang, maka kita ada �kewajiban� untuk mengembalikan uang tersebut. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kalau setiap bulan kita butuh uang mendesak? Kalau demikian, maka yang perlu di evaluasi adalah penghitungan kembali kebutuhan bulanan, apakah sudah benar-benar mencerminkan kebutuhan yang riil.
Ketentuan ini seharusnya juga bisa diterapkan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Buatlah aturan yang disepakati antara suami istri dalam mengelola keuangan keluarga. Misalnya siapa yang bertanggung jawab atas pengaturan uang bulanan dan berapa yang harus dikeluarkan. Kalau dalam realisasi pengeluaran bulanan diperkirakan melebihi anggaran yang telah disepakati, bagaimana penyelesaiannya. Apakah boleh langsung mengambil tabungan ataukah harus menunda pengeluaran yang lain. Tentu saja, hal-hal kecil ini perlu diatur dan disepakati antara suami istri.
Ketiga, laksanakan dengan konsisten dan evaluasi minimal setahun sekali. Untuk hal-hal yang masih belum dilaksanakan agar dievaluasi penyebabnya sedangkan hal-hal yang sudah bisa dilaksanakan ditingkatkan lebih baik.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip sederhana diatas, saya yakin permasalahan-permasalahan keluarga yang bersumber dari masalah keuangan, tidak akan pernah muncul. Insya Allah kita akan memiliki keluarga yang harmonis.
*) Tulisan ini telah di muat di Majalah Nurul Hayat Surabaya
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=281
Mengelola Hutang Agar Tidak Jual Kutang
Setiap hari, kita selalu di kepung dengan berbagai iklan produk dan jasa. Bahkan iklan hutang pun ada dimana-mana. Coba perhatikan, saat kita nonton televisi, commercial break atau iklan setiap saat muncul. Saat kita sedang asyik nonton tv dan ada iklan muncul, kita kemudian berniat pindah channel atau pindah saluran tv. Apa yang terjadi adalah hal yang sama, IKLAN juga muncul di sana. Demikian juga saat kita mau dengerin radio, disana juga ada iklan. Kita dalam perjalanan, billboard iklan juga ada dimana-mana. Depan, kanan dan kiri gambar dan bujukan iklan siap menghadang kita. Kalau iklan itu hanya menawarkan produk dan jasa biasa seperti makanan, minuman atau produk properti mungkin masih kita anggap wajar. Yang banyak terjadi saat ini adalah iklan-iklan konsumtif seperti iklan liburan pakai kredit, iklan shopping pakai kartu kredit dan sejenisnya. Dengan penawaran yang menggoda, iklan itu seringkali membuat kita membelinya.
Karena itu, dalam kehidupan modern dengan gaya konsumerisme seperti saat ini, sulit kita menemukan orang yang bebas hutang. Selain tuntutan kebutuhan yang meningkat, juga karena godaan berbagai iklan produk yang setiap tahun bertambah jumlahnya. Tidak hanya itu, jika dulu orang �malu� berhutang, kini hutang justru menjadi produk yang menguntungkan dan pasarnya sangat luas. Kita dapat saksikan betapa banyak bank dan lembaga perkreditan gencar menawarkan hutang kepada masyarakat. Bila melalui hutang belum berhasil menggaet debitur (konsumen), mereka berusaha menawarkan barang dengan berbagai kemudahan pembayarannya. Bahkan untuk paket liburan wisata saja, orang ditawari bayar secara kredit!.
Dalam menghadapi kondisi yang demikian itu, kita harus mampu menahan dan membedakan mana kebutuhan dan mana yang hanya keinginan. Kita harus pula mengetahui managemen hutang yang baik, agar kita tidak terjerumus dalam jebakan hutang dan sampai �menjual kutang (maaf, BH)� karena kita sudah kehabisan aset untuk melunasinya.
Hutang memang tidak dilarang, apalagi diharamkan. Akan tetapi mengurangi hutang dan memanfaatkan hutang sesuai dengan kebutuhan adalah cara yang paling bijaksana. Karena itu, sebelum anda berhutang hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :
Niat baik
Saat anda harus ngutang maka jangan pernah sekali-kali berniat untuk tidak membayar hutang. Karena selain harus dipertanggung jawabkan di akhirat, di dunia pun, orang yang ngemplang secara sengaja akan menemukan kesulitan. Kalau pun si pemilik uang (kreditor) tidak melakukan perlawanan, nama baik kita akan tercemar. Orang tidak akan percaya lagi pada Anda. Akibatnya, bila sewaktu- waktu membutuhkan uang atau modal, maka jangan harap mendapatkan kembali. Masalah uang dan hutang ini sangat sensitif, sehingga perbuatan jelek anda akan cepat menyebar ke berbagai kalangan. Islam mengajarkan kepada kita, agar hutang segera dilunasi bila sudah mampu membayarnya. Islam juga memberikan ajaran berupa do�a agar kita diberikan kemudahan membayar hutang.
Tingkat prioritas kebutuhan
Seringkali kita melakukan hutang karena untuk membeli barang atau jasa yang sebenarnya tidak kita perlukan. Sebagai contoh, kita membeli hp baru karena ada tawaran �menarik� angsuran tanpa bunga dari kartu kredit atau dari penjual hp. Padahal kita sesungguhnya belum memerlukan ganti hp. Karena ada �fasilitas� hutang maka anda merasa harus membeli hp itu. Mungkin anda akan bilang dalam hati, �Kapan lagi ada kesempatan ini�. Padahal, tawaran-tawaran seperti itu hampir setiap hari ada dimana-mana. Penjual memang sengaja membuat penawaran yang seolah-olah terbatas sehingga anda harus bertindak hari itu juga. Tawaran terbatas itu misalnya, �Cicilan Tanpa Bunga Hanya Hari ini, untuk 10 Orang pertama�. Sekali lagi, ini semua adalah trik penjual. Karena, dalam membeli produk anda harus tetap berdasar prinsip prioritas pada kebutuhan, �penting dan mendesak!�
Kemampuan Membayar
Kita memang sering lupa kalau dalam berhutang harus memperhatikan kemampuan membayar. Coba perhatikan, saking semangatnya, kita sering memaksakan berhutang � meski sudah tidak memiliki kemampuan membayar, dengan harapan ada rejeki di kemudian hari. Sebagai contoh, banyak karyawan yang tidak sabar membelanjakan �bonus� yang akan diterima. Mereka membeli barang konsumtif dengan cara kredit dan akan dibayar saat bonus dibagikan. Tentu saja cara ini tidak benar.
Tidak ada aturan pasti berapa persen dari penghasilan yang bisa digunakan untuk membayar hutang, namun sebagian pakar keuangan menyarankan maksimal 40 persen. Misalnya penghasilan Anda saat ini sebesar Rp4.000.000,- per bulan, maka maksimal Rp1.600.000,- yang bisa anda gunakan untuk mengangsur.
Persetujuan pasangan
Hutang yang kita ambil akan menjadi taruhan kita di akhirat, apabila kita tidak bisa melunasinya sampai mati. Itulah sebabnya kita harus memberitahukan kepada pasangan (suami/istri), agar mereka juga ikut bertanggung jawab atas hutang kita. Akan lebih baik bila anda tidak hanya memberitahukan tetapi juga mendapatkan persetujuan pasangan. Langkah ini untuk memudahkan anda dalam mengatur keuangan secara keseluruhan. Bayangkan bila Anda ngumpet karena anda tidak mendapatkan persetujuan dari pasangan, maka bila suatu saat anda tidak mampu membayar hutang, hal ini akan merepotkan pasangan bahkan bisa memicu hubungan keluarga menjadi tidak nyaman. Tidak hanya itu, beban keuangan anda juga akan bertambah berat karena anda harus membayar angsuran. Padahal kalau anda bicarakan dengan pasangan, maka pos-pos pengeluaran yang lain tentu bisa dinego atau disesuaikan sehingga bisa mengurangi beban keuangan.
Selain itu, bila hutang sudah dibicarakan, maka suka-duka dalam berhutang bisa dipikul bersama. Lebih penting dari itu, apabila anda meninggal dan hutang belum lunas, mereka akan berusaha melunasi sehingga tidak menjadi beban anda di akhirat.
Hutang Baik dan Hutang Buruk
Tidak semua hutang itu jelek, tergantung jenis dan peruntukannya. Bila digunakan untuk membeli kebutuhan konsumtif (barang�barang yang nilainya menurun) seperti membeli HP terbaru, mobil baru dan lainnya itu termasuk hutang buruk. Lain halnya kalau anda hutang untuk keperluan produktif seperti modal kerja, investasi ruko, rumah, rukan dan lainnya.
Karena itu, untuk keperluan produktif, bila anda mau, silahkan Anda berhutang! Namun untuk keperluan konsumtif, langkah yang paling bijaksana adalah tidak memaksakan diri untuk hutang atau tidak membeli secara kredit. Barang konsumtif sebaiknya dibeli secara tunai. Bila belum mampu, tunda sementara waktu untuk membeli barang tersebut. Prinsip buy now pay later (beli sekarang bayar kemudian) harus dibuang jauh-jauh untuk barang konsumtif, karena prinsip itu menyusahkan dikemudian hari.
Sisakan kapasitas untuk hutang darurat
Siapa pun tidak akan tahu bagaimana kondisi keuangan kita. Hari ini bisa saja rejeki anda berlimpah, tapi mungkin tahun depan rejeki anda tersendat atau berkurang. Bisa juga anda memiliki rejeki yang bertambah berlimpah. Karena adanya ketidakpastian itulah maka tidak selayaknya kita menggunakan sebagian besar penghasilan untuk membayar angsuran kredit. Kita perlu menyediakan �ruang� untuk berjaga-jaga manakala kita membutuhkan dana darurat. Memang, idealnya kita memiliki dana cadangan berupa uang tunai untuk kondisi darurat tersebut. Namun bila kondisi keuangan masih belum memungkinkan untuk itu, tidak ada salahnya jika kita tidak �rakus� dengan hutang sehingga tidak ada �ruang� untuk berhutang lagi.
Prioritaskan pembayaran hutang berbunga besar.
Bila saat ini sudah terlanjur punya hutang banyak bagaimana? Bila demikian kondisinya, anda harus memprioritaskan untuk melunasi hutang yang berbunga besar. Kartu kredit, hutang rentenir atau kredit tanpa agunan (KTA) biasanya berbunga besar. Jenis kredit seperti itu harus segera dilunaskan, agar tidak membebani keuangan anda. Bila anda memiliki dua kartu kredit dengan penggunaan maksimal, prioritaskan pelunasan kartu kredit berbunga besar. Saat ini banyak bank penerbit kartu kredit yang menawarkan transfer balance (melunasi outstanding kredit di tempat lain, dan memindahkan hutangnya ke tempat penerbit kartu kredit baru). Anda dapat memanfaatkan fasilitas itu, bila bunga yang ditawarkan lebih rendah untuk melunasi kartu kredit yang sedang berjalan. Setelah lunas, sebaiknya tidak menggunakan lagi kartu kredit untuk kepentingan konsumtif. Silahkan gunting kartu kredit anda selama masa pelunasan ini agar anda tidak tergoda untuk menggesek-gesek lagi.
Selain anda memperhatikan managemen hutang sebagaimana penjelasan diatas, anda harus memperhatikan pula managemen piutang (memberikan hutang kepada pihak lain). Bagi pengusaha, hutang�piutang adalah hal biasa. Namun bagi karyawan, piutang yang diberikan biasanya hanya berhubungan dengan bantuan kepada pihak lain, jarang yang berhubungan dengan bisnis. Anda tentu tidak bisa menolak begitu saja bila ada teman, saudara atau orang dekat anda yang memerlukan bantuan keuangan. Misalnya ada saudara membutuhkan biaya sekolah atau berobat, sebaiknya anda memberikan bantuan atau hutang sesuai kemampuan. Syukur-syukur bila memberikan bantuan sesuai permintaannya. Meski niat untuk memberikan hutang untuk menolong, tidak jarang uang anda tidak terbayar. Karena itu Anda harus selektif dalam memberikan hutang. Apakah hutang benar-benar sesuai kebutuhannya ataukah si peminjam sengaja ingin ngemplang (tidak mau bayar).
Berkenaan dengan piutang tersebut, Islam mengajarkan bila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya akan lebih baik bila diberikan kelonggaran sampai kita sedekahkan, sebagaimana firman Allah :
�Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh (waktu) sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui�.
Q.S Al � Baqarah (2) : 280
Wallahu a�lam bisshawaab,
semoga bermanfaat.
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=434
Karena itu, dalam kehidupan modern dengan gaya konsumerisme seperti saat ini, sulit kita menemukan orang yang bebas hutang. Selain tuntutan kebutuhan yang meningkat, juga karena godaan berbagai iklan produk yang setiap tahun bertambah jumlahnya. Tidak hanya itu, jika dulu orang �malu� berhutang, kini hutang justru menjadi produk yang menguntungkan dan pasarnya sangat luas. Kita dapat saksikan betapa banyak bank dan lembaga perkreditan gencar menawarkan hutang kepada masyarakat. Bila melalui hutang belum berhasil menggaet debitur (konsumen), mereka berusaha menawarkan barang dengan berbagai kemudahan pembayarannya. Bahkan untuk paket liburan wisata saja, orang ditawari bayar secara kredit!.
Dalam menghadapi kondisi yang demikian itu, kita harus mampu menahan dan membedakan mana kebutuhan dan mana yang hanya keinginan. Kita harus pula mengetahui managemen hutang yang baik, agar kita tidak terjerumus dalam jebakan hutang dan sampai �menjual kutang (maaf, BH)� karena kita sudah kehabisan aset untuk melunasinya.
Hutang memang tidak dilarang, apalagi diharamkan. Akan tetapi mengurangi hutang dan memanfaatkan hutang sesuai dengan kebutuhan adalah cara yang paling bijaksana. Karena itu, sebelum anda berhutang hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :
Niat baik
Saat anda harus ngutang maka jangan pernah sekali-kali berniat untuk tidak membayar hutang. Karena selain harus dipertanggung jawabkan di akhirat, di dunia pun, orang yang ngemplang secara sengaja akan menemukan kesulitan. Kalau pun si pemilik uang (kreditor) tidak melakukan perlawanan, nama baik kita akan tercemar. Orang tidak akan percaya lagi pada Anda. Akibatnya, bila sewaktu- waktu membutuhkan uang atau modal, maka jangan harap mendapatkan kembali. Masalah uang dan hutang ini sangat sensitif, sehingga perbuatan jelek anda akan cepat menyebar ke berbagai kalangan. Islam mengajarkan kepada kita, agar hutang segera dilunasi bila sudah mampu membayarnya. Islam juga memberikan ajaran berupa do�a agar kita diberikan kemudahan membayar hutang.
Tingkat prioritas kebutuhan
Seringkali kita melakukan hutang karena untuk membeli barang atau jasa yang sebenarnya tidak kita perlukan. Sebagai contoh, kita membeli hp baru karena ada tawaran �menarik� angsuran tanpa bunga dari kartu kredit atau dari penjual hp. Padahal kita sesungguhnya belum memerlukan ganti hp. Karena ada �fasilitas� hutang maka anda merasa harus membeli hp itu. Mungkin anda akan bilang dalam hati, �Kapan lagi ada kesempatan ini�. Padahal, tawaran-tawaran seperti itu hampir setiap hari ada dimana-mana. Penjual memang sengaja membuat penawaran yang seolah-olah terbatas sehingga anda harus bertindak hari itu juga. Tawaran terbatas itu misalnya, �Cicilan Tanpa Bunga Hanya Hari ini, untuk 10 Orang pertama�. Sekali lagi, ini semua adalah trik penjual. Karena, dalam membeli produk anda harus tetap berdasar prinsip prioritas pada kebutuhan, �penting dan mendesak!�
Kemampuan Membayar
Kita memang sering lupa kalau dalam berhutang harus memperhatikan kemampuan membayar. Coba perhatikan, saking semangatnya, kita sering memaksakan berhutang � meski sudah tidak memiliki kemampuan membayar, dengan harapan ada rejeki di kemudian hari. Sebagai contoh, banyak karyawan yang tidak sabar membelanjakan �bonus� yang akan diterima. Mereka membeli barang konsumtif dengan cara kredit dan akan dibayar saat bonus dibagikan. Tentu saja cara ini tidak benar.
Tidak ada aturan pasti berapa persen dari penghasilan yang bisa digunakan untuk membayar hutang, namun sebagian pakar keuangan menyarankan maksimal 40 persen. Misalnya penghasilan Anda saat ini sebesar Rp4.000.000,- per bulan, maka maksimal Rp1.600.000,- yang bisa anda gunakan untuk mengangsur.
Persetujuan pasangan
Hutang yang kita ambil akan menjadi taruhan kita di akhirat, apabila kita tidak bisa melunasinya sampai mati. Itulah sebabnya kita harus memberitahukan kepada pasangan (suami/istri), agar mereka juga ikut bertanggung jawab atas hutang kita. Akan lebih baik bila anda tidak hanya memberitahukan tetapi juga mendapatkan persetujuan pasangan. Langkah ini untuk memudahkan anda dalam mengatur keuangan secara keseluruhan. Bayangkan bila Anda ngumpet karena anda tidak mendapatkan persetujuan dari pasangan, maka bila suatu saat anda tidak mampu membayar hutang, hal ini akan merepotkan pasangan bahkan bisa memicu hubungan keluarga menjadi tidak nyaman. Tidak hanya itu, beban keuangan anda juga akan bertambah berat karena anda harus membayar angsuran. Padahal kalau anda bicarakan dengan pasangan, maka pos-pos pengeluaran yang lain tentu bisa dinego atau disesuaikan sehingga bisa mengurangi beban keuangan.
Selain itu, bila hutang sudah dibicarakan, maka suka-duka dalam berhutang bisa dipikul bersama. Lebih penting dari itu, apabila anda meninggal dan hutang belum lunas, mereka akan berusaha melunasi sehingga tidak menjadi beban anda di akhirat.
Hutang Baik dan Hutang Buruk
Tidak semua hutang itu jelek, tergantung jenis dan peruntukannya. Bila digunakan untuk membeli kebutuhan konsumtif (barang�barang yang nilainya menurun) seperti membeli HP terbaru, mobil baru dan lainnya itu termasuk hutang buruk. Lain halnya kalau anda hutang untuk keperluan produktif seperti modal kerja, investasi ruko, rumah, rukan dan lainnya.
Karena itu, untuk keperluan produktif, bila anda mau, silahkan Anda berhutang! Namun untuk keperluan konsumtif, langkah yang paling bijaksana adalah tidak memaksakan diri untuk hutang atau tidak membeli secara kredit. Barang konsumtif sebaiknya dibeli secara tunai. Bila belum mampu, tunda sementara waktu untuk membeli barang tersebut. Prinsip buy now pay later (beli sekarang bayar kemudian) harus dibuang jauh-jauh untuk barang konsumtif, karena prinsip itu menyusahkan dikemudian hari.
Sisakan kapasitas untuk hutang darurat
Siapa pun tidak akan tahu bagaimana kondisi keuangan kita. Hari ini bisa saja rejeki anda berlimpah, tapi mungkin tahun depan rejeki anda tersendat atau berkurang. Bisa juga anda memiliki rejeki yang bertambah berlimpah. Karena adanya ketidakpastian itulah maka tidak selayaknya kita menggunakan sebagian besar penghasilan untuk membayar angsuran kredit. Kita perlu menyediakan �ruang� untuk berjaga-jaga manakala kita membutuhkan dana darurat. Memang, idealnya kita memiliki dana cadangan berupa uang tunai untuk kondisi darurat tersebut. Namun bila kondisi keuangan masih belum memungkinkan untuk itu, tidak ada salahnya jika kita tidak �rakus� dengan hutang sehingga tidak ada �ruang� untuk berhutang lagi.
Prioritaskan pembayaran hutang berbunga besar.
Bila saat ini sudah terlanjur punya hutang banyak bagaimana? Bila demikian kondisinya, anda harus memprioritaskan untuk melunasi hutang yang berbunga besar. Kartu kredit, hutang rentenir atau kredit tanpa agunan (KTA) biasanya berbunga besar. Jenis kredit seperti itu harus segera dilunaskan, agar tidak membebani keuangan anda. Bila anda memiliki dua kartu kredit dengan penggunaan maksimal, prioritaskan pelunasan kartu kredit berbunga besar. Saat ini banyak bank penerbit kartu kredit yang menawarkan transfer balance (melunasi outstanding kredit di tempat lain, dan memindahkan hutangnya ke tempat penerbit kartu kredit baru). Anda dapat memanfaatkan fasilitas itu, bila bunga yang ditawarkan lebih rendah untuk melunasi kartu kredit yang sedang berjalan. Setelah lunas, sebaiknya tidak menggunakan lagi kartu kredit untuk kepentingan konsumtif. Silahkan gunting kartu kredit anda selama masa pelunasan ini agar anda tidak tergoda untuk menggesek-gesek lagi.
Selain anda memperhatikan managemen hutang sebagaimana penjelasan diatas, anda harus memperhatikan pula managemen piutang (memberikan hutang kepada pihak lain). Bagi pengusaha, hutang�piutang adalah hal biasa. Namun bagi karyawan, piutang yang diberikan biasanya hanya berhubungan dengan bantuan kepada pihak lain, jarang yang berhubungan dengan bisnis. Anda tentu tidak bisa menolak begitu saja bila ada teman, saudara atau orang dekat anda yang memerlukan bantuan keuangan. Misalnya ada saudara membutuhkan biaya sekolah atau berobat, sebaiknya anda memberikan bantuan atau hutang sesuai kemampuan. Syukur-syukur bila memberikan bantuan sesuai permintaannya. Meski niat untuk memberikan hutang untuk menolong, tidak jarang uang anda tidak terbayar. Karena itu Anda harus selektif dalam memberikan hutang. Apakah hutang benar-benar sesuai kebutuhannya ataukah si peminjam sengaja ingin ngemplang (tidak mau bayar).
Berkenaan dengan piutang tersebut, Islam mengajarkan bila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya akan lebih baik bila diberikan kelonggaran sampai kita sedekahkan, sebagaimana firman Allah :
�Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh (waktu) sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui�.
Q.S Al � Baqarah (2) : 280
Wallahu a�lam bisshawaab,
semoga bermanfaat.
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=434
Perangkap Terbesar Keuangan Keluarga
Liburan panjang akhir tahun ini mengingatkan liburan saya beberapa waktu lalu, saat mengantarkan anak ke Gelanggang Samudra di Ancol Jakarta. Di arena hiburan ini, pihak pengelola menyajikan berbagai hiburan yang dilakonkan oleh beberapa binatang yang berbeda. Ada pertunjukan lumba-lumba dan paus putih dengan berbagai atraksinya yang menarik dan mendebarkan. Ada pertunjukan anjing laut dengan tontonannya yang unik dan lucu. Ada juga kuda nil, binatang dengan badan gendut itu yang mampu membuat penonton ketawa riang. Dari berbagai arena pertunjukan itu, ada satu kesamaan perilaku yang dipertontonkan kepada pengunjung yakni motivasi para binatang yang hanya mau beratraksi apabila di kasih makan. Habis makan, langsung beratraksi, begitu seterusnya.
Tanpa kita sadari, kita juga seringkali terjebak pada perilaku seperti (maaf) binatang diatas. Kita hanya mau bekerja kalau diiming-imingi dengan upah, uang atau imbalan sejenisnya. Lebih ironis lagi, ketika kita sudah mendapatkan uang, maka uang itu kemudian habis kita makan atau kita gunakan untuk kebutuhan sejenisnya. Kemudian kita bekerja lagi dengan harapan dapat uang, kemudian uang itu habis lagi. Atau uang kita timbun secara terus menerus, karena kita takut tidak punya uang. Begitu seterusnya lingkaran ini berlanjut. Akhirnya kita terjebak pada pola rutinitas, dan pola ketergantungan pada pekerjaan tertentu.
Jika kita menelusuri hidup orang kebanyakan, skenario finansial mereka sering terjadi seperti ini: Seorang manusia kecil, anak-anak, berjuang untuk sekolah agar lulus dengan nilai yang baik, kemudian mencari pekerjaan. Tak lama kemudian, mereka berhasil mempunyai sedikit uang untuk dibelanjakan. Saat mereka menginjak dewasa, mereka menyewa rumah kos atau apartemen, membeli TV untuk hiburan di rumah, membeli beberapa mebel untuk perlengkapan, dan tentu saja membeli sepeda motor atau sebuah mobil idaman. Maka jangan heran, bila sekarang tagihan mulai berdatangan.
Sang manusia ini ini merasa sudah dewasa, dan merasa sudah mandiri. Maka disaat sang dewasa ini bertemu seseorang yang istimewa, bara api cinta beterbangan dan mereka jatuh cinta. Lalu mereka menikah dengan melakukan pesta pernikahan yang mewah. Kalaupun tidak punya uang, pinjam kesana kemari. Mereka bulan madu, dan sesaat hidup terasa indah karena dua orang ini bisa hidup bersama dengan berbagi kasih. Mereka sekarang mempunyai dua pemasukan, karena suami istri bekerja. Karena mereka hanya membayar satu biaya sewa tempat tinggal, maka mereka bisa menabung beberapa rupiah untuk membeli impian yakni memiliki rumah sendiri.
Tak lama kemudian, mereka menemukan rumah impian, mengambil uang dari tabungan dan menggunakannya sebagai uang muka (DP) rumah itu dan sekarang mereka mempunyai hutang kepemilikan rumah (KPR). Dalam pikiran mereka kemudian muncul, “Tidak lengkap kalau rumah baru tanpa mebel atau furniture baru”. Karena itu, kemudian mereka membeli mebel baru. Mereka kemudian menemukan iklan di sebuah surat kabar, ”Tidak perlu uang muka, anda bisa mendapatkan mebel dengan angsuran murah”. Maka, kartu kredit mereka gesek untuk membeli mebel itu. Kalau pun kartu kredit tidak ada, mereka akan mengambil mebel dengan cara kredit.
Seolah ingin terus menikmati hidup yang terasa indah, mereka kemudian mengadakan pesta mengundang semua teman untuk ‘tasyukuran’ atau melihat rumah baru, mobil baru, mebel baru, dan mainan baru mereka. Kelihatannya indah, tapi apa yang terjadi sesungguhnya, mereka sudah mulai terjerat hutang, terperangkap dalam masalah keuangan.
Tidak lama kemudian, anak pertama lahir. Pasangan ini bekerja keras mencari uang, dan karena kesibukan kedua pasangan ini, mereka menitipkan anak balitanya ke penitipan balita. Mereka terperangkap oleh kebutuhan mereka, hingga akhir hayatnya.
Menurut Robert Kiyosaki dalam bukunya, The Cash Flow Quadrant dan Rich Dad Poor Dad, bahwa kebanyakan orang mempunyai harga, dan mereka mempunyai harga karena emosi manusia yang disebut ketakutan dan ketamakan. Pertama, takut hidup tanpa uang sehingga memotivasi kita untuk bekerja keras, dan kemudian setelah kita mendapatkan slip gaji, ketamakan atau nafsu mengajak kita untuk mulai berpikir tentang semua hal indah yang bisa dibeli dengan uang. Pola itu pun kemudian terus terbentuk. Pola bangun tidur, bekerja, membayar tagihan, bangun tidur, bekerja, membayar tagihan. Kehidupan mereka selamanya digerakkan dan dijalankan oleh dua emosi, yakni ketakutan dan ketamakan. Tawarilah mereka uang lebih banyak, dan mereka pun meneruskan siklus itu dengan meningkatkan pengeluaran mereka. Inilah yang dimaksudkan sebagai perlombaan tikus.
Ketakutan itu tetap menghantui mereka, dan karenanya mereka kembali bekerja, lagi-lagi bekerja berharap bahwa uang akan menenangkan ketakutan mereka, dan ternyata tidak lagi. Ketakutan telah menyebabkan mereka untuk bekerja, memperoleh uang, bekerja lagi, memperoleh uang lagi; dengan harapan agar ketakutan itu pergi. Tetapi setiap hari ketika mereka bangun tidur, ketakutan itu pun bangun bersama mereka. Bagi jutaan orang, ketakutan itu membuat mereka terjaga sepanjang malam, menyebabkan malam hari menjadi penuh kegalauan dan kecemasan. Karena itu mereka bangun dan pergi bekerja, dengan harapan upah yang mereka terima akan membunuh ketakutan yang menggerogoti jiwa mereka. Uang mengendalikan hidup mereka, dan mereka menolak untuk mengatakan kebenaran ini. Uang menguasai emosi mereka dan karena itu juga menguasai jiwa mereka.
Karena itulah kita seringkali menyaksikan banyak orang yang selalu bergegas berangkat bekerja dan kelihatannya tidak menyenangkan tetapi mereka tetap harus bekerja karena ada yang ‘memaksa’, yakni kebutuhan. Tidak hanya perangkap kebutuhan, tetapi juga perangkap tagihan seperti tagihan listrik, tagihan pajak, tagihan telepon, sampai tagihan hutang.
Kita tentu tidak ingin perangkap ini terjadi pada diri kita. Demikian juga sebaliknya, kita juga jangan terperangkap hanya menjadi kaya, karena hanya menjadi kaya tidak selalu memecahkan masalah. Kenapa? Karena ada yang namanya hasrat atau keinginan, atau ada yang menyebutnya ketamakan. Sangatlah wajar bila seseorang menginginkan sesuatu lebih baik, dan lebih menyenangkan. Jadi orang bekerja untuk uang karena keinginan. Mereka menginginkan uang untuk kesenangan yang mereka pikir bisa mereka beli. Tetapi, sayangnya, kesenangan yang dibawa uang seringkali tidak lama, dan mereka pun segera menginginkan uang lebih banyak untuk mendapatkan kesenangan yang lebih banyak lagi, kenikmatan lebih banyak, kenyamanan lebih banyak, dan keterjaminan lebih banyak. Karena itu mereka terus bekerja keras, mengira bahwa uang akan menenangkan jiwa yang diganggu oleh rasa takut. Kenyataannya uang tidak selalu dapat menenangkan jiwa. Orang kaya juga termasuk dalam ketakutan ini. Buktinya, banyak orang kaya bukan karena keinginan (menjadi kaya) tetapi karena rasa takut. Mereka berpikir bahwa uang dapat menyingkirkan rasa takut yang disebabkan tidak memiliki uang (miskin), sehingga mereka menimbun berton-ton uang. Namun mereka sekarang takut kehilangan uang. Perhatikan orang yang mempunyai uang milyaran rupiah, mereka justru menjadi lebih takut dibandingkan saat mereka miskin. Mereka sangat takut kehilangan uang mereka. Mereka tidak ingin kehilangan rumah mewah, mobil mewah yang sudah pernah mereka nikmati.
Berdasarkan penjelasan diatas, dan agar kita tidak terperangkap dalam kondisi yang demikian itu, maka dalam setiap pengelolaan keuangan kita harus memulai dari pemahaman yang benar tehadap hakikat uang dan pekerjaan, serta penguasaan pada emosi alias nafsu kita. Pemahaman yang benar terhadap uang adalah uang bukanlah segalanya. Uang hanyalah sarana dalam kehidupan ini. Baik uang maupun pekerjaan tidak bisa menjamin kehidupan kita. Hanya pemahaman yang benar dan kemampuan kita dalam mencari uang dan mengelola uang dengan baik yang akan membuat kehidupan ini menyenangkan. Demikian juga dengan penguasaan emosi, harus menjadi prioritas dalam pengelolaan keuangan.
Lalu bagaimana pengelolaan keuangan yang baik, adalah bagaimana kita dapat mengelola pengeluaran kita selalu lebih kecil daripada penerimaan. Istilah yang popular adalah ‘Jangan lebih besar pasak daripada tiang”, karena ini akan membuat kita terperosok dalam jeratan dan perangkap besar kehidupan ini. Selain itu, dalam pengelolaan keuangan yang baik juga menyadarkan kita bahwa semua penghasilan atau rezeki yang kita terima didalamnya ada titipan rezeki orang lain yang harus disalurkan dalam kegiatan berbagi. Dengan kegiatan berbagi ini, maka tidak akan ada lagi perangkap bagi kita karena kita telah menumpuk-numpuk harta dan selalu takut kehilangan harta. Kegiatan berbagi yang dilakukan dengan baik, secara tidak sadar akan membuat pikiran kita tenang dan tidak takut kehilangan harta yang kita miliki. Kita tidak lagi takut miskin, karena berbagi itu kita yakini sebagai kekayaan mental yang selalu mendatangkan kekayaan harta. Karena Allah selalu melipatgandakan setiap harta yang kita keluarkan untuk berbagi.
Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Nurul Hayat Surabaya
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=422
Tanpa kita sadari, kita juga seringkali terjebak pada perilaku seperti (maaf) binatang diatas. Kita hanya mau bekerja kalau diiming-imingi dengan upah, uang atau imbalan sejenisnya. Lebih ironis lagi, ketika kita sudah mendapatkan uang, maka uang itu kemudian habis kita makan atau kita gunakan untuk kebutuhan sejenisnya. Kemudian kita bekerja lagi dengan harapan dapat uang, kemudian uang itu habis lagi. Atau uang kita timbun secara terus menerus, karena kita takut tidak punya uang. Begitu seterusnya lingkaran ini berlanjut. Akhirnya kita terjebak pada pola rutinitas, dan pola ketergantungan pada pekerjaan tertentu.
Jika kita menelusuri hidup orang kebanyakan, skenario finansial mereka sering terjadi seperti ini: Seorang manusia kecil, anak-anak, berjuang untuk sekolah agar lulus dengan nilai yang baik, kemudian mencari pekerjaan. Tak lama kemudian, mereka berhasil mempunyai sedikit uang untuk dibelanjakan. Saat mereka menginjak dewasa, mereka menyewa rumah kos atau apartemen, membeli TV untuk hiburan di rumah, membeli beberapa mebel untuk perlengkapan, dan tentu saja membeli sepeda motor atau sebuah mobil idaman. Maka jangan heran, bila sekarang tagihan mulai berdatangan.
Sang manusia ini ini merasa sudah dewasa, dan merasa sudah mandiri. Maka disaat sang dewasa ini bertemu seseorang yang istimewa, bara api cinta beterbangan dan mereka jatuh cinta. Lalu mereka menikah dengan melakukan pesta pernikahan yang mewah. Kalaupun tidak punya uang, pinjam kesana kemari. Mereka bulan madu, dan sesaat hidup terasa indah karena dua orang ini bisa hidup bersama dengan berbagi kasih. Mereka sekarang mempunyai dua pemasukan, karena suami istri bekerja. Karena mereka hanya membayar satu biaya sewa tempat tinggal, maka mereka bisa menabung beberapa rupiah untuk membeli impian yakni memiliki rumah sendiri.
Tak lama kemudian, mereka menemukan rumah impian, mengambil uang dari tabungan dan menggunakannya sebagai uang muka (DP) rumah itu dan sekarang mereka mempunyai hutang kepemilikan rumah (KPR). Dalam pikiran mereka kemudian muncul, “Tidak lengkap kalau rumah baru tanpa mebel atau furniture baru”. Karena itu, kemudian mereka membeli mebel baru. Mereka kemudian menemukan iklan di sebuah surat kabar, ”Tidak perlu uang muka, anda bisa mendapatkan mebel dengan angsuran murah”. Maka, kartu kredit mereka gesek untuk membeli mebel itu. Kalau pun kartu kredit tidak ada, mereka akan mengambil mebel dengan cara kredit.
Seolah ingin terus menikmati hidup yang terasa indah, mereka kemudian mengadakan pesta mengundang semua teman untuk ‘tasyukuran’ atau melihat rumah baru, mobil baru, mebel baru, dan mainan baru mereka. Kelihatannya indah, tapi apa yang terjadi sesungguhnya, mereka sudah mulai terjerat hutang, terperangkap dalam masalah keuangan.
Tidak lama kemudian, anak pertama lahir. Pasangan ini bekerja keras mencari uang, dan karena kesibukan kedua pasangan ini, mereka menitipkan anak balitanya ke penitipan balita. Mereka terperangkap oleh kebutuhan mereka, hingga akhir hayatnya.
Menurut Robert Kiyosaki dalam bukunya, The Cash Flow Quadrant dan Rich Dad Poor Dad, bahwa kebanyakan orang mempunyai harga, dan mereka mempunyai harga karena emosi manusia yang disebut ketakutan dan ketamakan. Pertama, takut hidup tanpa uang sehingga memotivasi kita untuk bekerja keras, dan kemudian setelah kita mendapatkan slip gaji, ketamakan atau nafsu mengajak kita untuk mulai berpikir tentang semua hal indah yang bisa dibeli dengan uang. Pola itu pun kemudian terus terbentuk. Pola bangun tidur, bekerja, membayar tagihan, bangun tidur, bekerja, membayar tagihan. Kehidupan mereka selamanya digerakkan dan dijalankan oleh dua emosi, yakni ketakutan dan ketamakan. Tawarilah mereka uang lebih banyak, dan mereka pun meneruskan siklus itu dengan meningkatkan pengeluaran mereka. Inilah yang dimaksudkan sebagai perlombaan tikus.
Ketakutan itu tetap menghantui mereka, dan karenanya mereka kembali bekerja, lagi-lagi bekerja berharap bahwa uang akan menenangkan ketakutan mereka, dan ternyata tidak lagi. Ketakutan telah menyebabkan mereka untuk bekerja, memperoleh uang, bekerja lagi, memperoleh uang lagi; dengan harapan agar ketakutan itu pergi. Tetapi setiap hari ketika mereka bangun tidur, ketakutan itu pun bangun bersama mereka. Bagi jutaan orang, ketakutan itu membuat mereka terjaga sepanjang malam, menyebabkan malam hari menjadi penuh kegalauan dan kecemasan. Karena itu mereka bangun dan pergi bekerja, dengan harapan upah yang mereka terima akan membunuh ketakutan yang menggerogoti jiwa mereka. Uang mengendalikan hidup mereka, dan mereka menolak untuk mengatakan kebenaran ini. Uang menguasai emosi mereka dan karena itu juga menguasai jiwa mereka.
Karena itulah kita seringkali menyaksikan banyak orang yang selalu bergegas berangkat bekerja dan kelihatannya tidak menyenangkan tetapi mereka tetap harus bekerja karena ada yang ‘memaksa’, yakni kebutuhan. Tidak hanya perangkap kebutuhan, tetapi juga perangkap tagihan seperti tagihan listrik, tagihan pajak, tagihan telepon, sampai tagihan hutang.
Kita tentu tidak ingin perangkap ini terjadi pada diri kita. Demikian juga sebaliknya, kita juga jangan terperangkap hanya menjadi kaya, karena hanya menjadi kaya tidak selalu memecahkan masalah. Kenapa? Karena ada yang namanya hasrat atau keinginan, atau ada yang menyebutnya ketamakan. Sangatlah wajar bila seseorang menginginkan sesuatu lebih baik, dan lebih menyenangkan. Jadi orang bekerja untuk uang karena keinginan. Mereka menginginkan uang untuk kesenangan yang mereka pikir bisa mereka beli. Tetapi, sayangnya, kesenangan yang dibawa uang seringkali tidak lama, dan mereka pun segera menginginkan uang lebih banyak untuk mendapatkan kesenangan yang lebih banyak lagi, kenikmatan lebih banyak, kenyamanan lebih banyak, dan keterjaminan lebih banyak. Karena itu mereka terus bekerja keras, mengira bahwa uang akan menenangkan jiwa yang diganggu oleh rasa takut. Kenyataannya uang tidak selalu dapat menenangkan jiwa. Orang kaya juga termasuk dalam ketakutan ini. Buktinya, banyak orang kaya bukan karena keinginan (menjadi kaya) tetapi karena rasa takut. Mereka berpikir bahwa uang dapat menyingkirkan rasa takut yang disebabkan tidak memiliki uang (miskin), sehingga mereka menimbun berton-ton uang. Namun mereka sekarang takut kehilangan uang. Perhatikan orang yang mempunyai uang milyaran rupiah, mereka justru menjadi lebih takut dibandingkan saat mereka miskin. Mereka sangat takut kehilangan uang mereka. Mereka tidak ingin kehilangan rumah mewah, mobil mewah yang sudah pernah mereka nikmati.
Berdasarkan penjelasan diatas, dan agar kita tidak terperangkap dalam kondisi yang demikian itu, maka dalam setiap pengelolaan keuangan kita harus memulai dari pemahaman yang benar tehadap hakikat uang dan pekerjaan, serta penguasaan pada emosi alias nafsu kita. Pemahaman yang benar terhadap uang adalah uang bukanlah segalanya. Uang hanyalah sarana dalam kehidupan ini. Baik uang maupun pekerjaan tidak bisa menjamin kehidupan kita. Hanya pemahaman yang benar dan kemampuan kita dalam mencari uang dan mengelola uang dengan baik yang akan membuat kehidupan ini menyenangkan. Demikian juga dengan penguasaan emosi, harus menjadi prioritas dalam pengelolaan keuangan.
Lalu bagaimana pengelolaan keuangan yang baik, adalah bagaimana kita dapat mengelola pengeluaran kita selalu lebih kecil daripada penerimaan. Istilah yang popular adalah ‘Jangan lebih besar pasak daripada tiang”, karena ini akan membuat kita terperosok dalam jeratan dan perangkap besar kehidupan ini. Selain itu, dalam pengelolaan keuangan yang baik juga menyadarkan kita bahwa semua penghasilan atau rezeki yang kita terima didalamnya ada titipan rezeki orang lain yang harus disalurkan dalam kegiatan berbagi. Dengan kegiatan berbagi ini, maka tidak akan ada lagi perangkap bagi kita karena kita telah menumpuk-numpuk harta dan selalu takut kehilangan harta. Kegiatan berbagi yang dilakukan dengan baik, secara tidak sadar akan membuat pikiran kita tenang dan tidak takut kehilangan harta yang kita miliki. Kita tidak lagi takut miskin, karena berbagi itu kita yakini sebagai kekayaan mental yang selalu mendatangkan kekayaan harta. Karena Allah selalu melipatgandakan setiap harta yang kita keluarkan untuk berbagi.
Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Nurul Hayat Surabaya
Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=422
Langganan:
Postingan (Atom)