DROPDOWN MENU

Gadget Text

MAAF, TOKO TUTUP !!!

TERTARIK? SILAHKAN KLIK LINK 1 (STIKER TIMBUL), LINK 2 (PRINT DI VINYL/MIKA) DAN LINK 3 (CETAK KAOS DIGITAL)
INFO DAN KONSULTASI HUBUNGI 082139434212

Rabu, 22 Februari 2012

Perangkap Terbesar Keuangan Keluarga

Liburan panjang akhir tahun ini mengingatkan liburan saya beberapa waktu lalu, saat mengantarkan anak ke Gelanggang Samudra di Ancol Jakarta. Di arena hiburan ini, pihak pengelola menyajikan berbagai hiburan yang dilakonkan oleh beberapa binatang yang berbeda. Ada pertunjukan lumba-lumba dan paus putih dengan berbagai atraksinya yang menarik dan mendebarkan. Ada pertunjukan anjing laut dengan tontonannya yang unik dan lucu. Ada juga kuda nil, binatang dengan badan gendut itu yang mampu membuat penonton ketawa riang. Dari berbagai arena pertunjukan itu, ada satu kesamaan perilaku yang dipertontonkan kepada pengunjung yakni motivasi para binatang yang hanya mau beratraksi apabila di kasih makan. Habis makan, langsung beratraksi, begitu seterusnya.

Tanpa kita sadari, kita juga seringkali terjebak pada perilaku seperti (maaf) binatang diatas. Kita hanya mau bekerja kalau diiming-imingi dengan upah, uang atau imbalan sejenisnya. Lebih ironis lagi, ketika kita sudah mendapatkan uang, maka uang itu kemudian habis kita makan atau kita gunakan untuk kebutuhan sejenisnya. Kemudian kita bekerja lagi dengan harapan dapat uang, kemudian uang itu habis lagi. Atau uang kita timbun secara terus menerus, karena kita takut tidak punya uang. Begitu seterusnya lingkaran ini berlanjut. Akhirnya kita terjebak pada pola rutinitas, dan pola ketergantungan pada pekerjaan tertentu. 

Jika kita menelusuri hidup orang kebanyakan, skenario finansial mereka sering terjadi seperti ini: Seorang manusia kecil, anak-anak, berjuang untuk sekolah agar lulus dengan nilai yang baik, kemudian mencari pekerjaan. Tak lama kemudian, mereka berhasil mempunyai sedikit uang untuk dibelanjakan. Saat mereka menginjak dewasa, mereka menyewa rumah kos atau apartemen, membeli TV untuk hiburan di rumah, membeli beberapa mebel untuk perlengkapan, dan tentu saja membeli sepeda motor atau sebuah mobil idaman. Maka jangan heran, bila sekarang tagihan mulai berdatangan. 

Sang manusia ini ini merasa sudah dewasa, dan merasa sudah mandiri. Maka disaat sang dewasa ini bertemu seseorang yang istimewa, bara api cinta beterbangan dan mereka jatuh cinta. Lalu mereka menikah dengan melakukan pesta pernikahan yang mewah. Kalaupun tidak punya uang, pinjam kesana kemari. Mereka bulan madu, dan sesaat hidup terasa indah karena dua orang ini bisa hidup bersama dengan berbagi kasih. Mereka sekarang mempunyai dua pemasukan, karena suami istri bekerja. Karena mereka hanya membayar satu biaya sewa tempat tinggal, maka mereka bisa menabung beberapa rupiah untuk membeli impian yakni memiliki rumah sendiri. 

Tak lama kemudian, mereka menemukan rumah impian, mengambil uang dari tabungan dan menggunakannya sebagai uang muka (DP) rumah itu dan sekarang mereka mempunyai hutang kepemilikan rumah (KPR). Dalam pikiran mereka kemudian muncul, “Tidak lengkap kalau rumah baru tanpa mebel atau furniture baru”. Karena itu, kemudian mereka membeli mebel baru. Mereka kemudian menemukan iklan di sebuah surat kabar, ”Tidak perlu uang muka, anda bisa mendapatkan mebel dengan angsuran murah”. Maka, kartu kredit mereka gesek untuk membeli mebel itu. Kalau pun kartu kredit tidak ada, mereka akan mengambil mebel dengan cara kredit.

Seolah ingin terus menikmati hidup yang terasa indah, mereka kemudian mengadakan pesta mengundang semua teman untuk ‘tasyukuran’ atau melihat rumah baru, mobil baru, mebel baru, dan mainan baru mereka. Kelihatannya indah, tapi apa yang terjadi sesungguhnya, mereka sudah mulai terjerat hutang, terperangkap dalam masalah keuangan. 

Tidak lama kemudian, anak pertama lahir. Pasangan ini bekerja keras mencari uang, dan karena kesibukan kedua pasangan ini, mereka menitipkan anak balitanya ke penitipan balita. Mereka terperangkap oleh kebutuhan mereka, hingga akhir hayatnya. 

Menurut Robert Kiyosaki dalam bukunya, The Cash Flow Quadrant dan Rich Dad Poor Dad, bahwa kebanyakan orang mempunyai harga, dan mereka mempunyai harga karena emosi manusia yang disebut ketakutan dan ketamakan. Pertama, takut hidup tanpa uang sehingga memotivasi kita untuk bekerja keras, dan kemudian setelah kita mendapatkan slip gaji, ketamakan atau nafsu mengajak kita untuk mulai berpikir tentang semua hal indah yang bisa dibeli dengan uang. Pola itu pun kemudian terus terbentuk. Pola bangun tidur, bekerja, membayar tagihan, bangun tidur, bekerja, membayar tagihan. Kehidupan mereka selamanya digerakkan dan dijalankan oleh dua emosi, yakni ketakutan dan ketamakan. Tawarilah mereka uang lebih banyak, dan mereka pun meneruskan siklus itu dengan meningkatkan pengeluaran mereka. Inilah yang dimaksudkan sebagai perlombaan tikus.

Ketakutan itu tetap menghantui mereka, dan karenanya mereka kembali bekerja, lagi-lagi bekerja berharap bahwa uang akan menenangkan ketakutan mereka, dan ternyata tidak lagi. Ketakutan telah menyebabkan mereka untuk bekerja, memperoleh uang, bekerja lagi, memperoleh uang lagi; dengan harapan agar ketakutan itu pergi. Tetapi setiap hari ketika mereka bangun tidur, ketakutan itu pun bangun bersama mereka. Bagi jutaan orang, ketakutan itu membuat mereka terjaga sepanjang malam, menyebabkan malam hari menjadi penuh kegalauan dan kecemasan. Karena itu mereka bangun dan pergi bekerja, dengan harapan upah yang mereka terima akan membunuh ketakutan yang menggerogoti jiwa mereka. Uang mengendalikan hidup mereka, dan mereka menolak untuk mengatakan kebenaran ini. Uang menguasai emosi mereka dan karena itu juga menguasai jiwa mereka.

Karena itulah kita seringkali menyaksikan banyak orang yang selalu bergegas berangkat bekerja dan kelihatannya tidak menyenangkan tetapi mereka tetap harus bekerja karena ada yang ‘memaksa’, yakni kebutuhan. Tidak hanya perangkap kebutuhan, tetapi juga perangkap tagihan seperti tagihan listrik, tagihan pajak, tagihan telepon, sampai tagihan hutang.

Kita tentu tidak ingin perangkap ini terjadi pada diri kita. Demikian juga sebaliknya, kita juga jangan terperangkap hanya menjadi kaya, karena hanya menjadi kaya tidak selalu memecahkan masalah. Kenapa? Karena ada yang namanya hasrat atau keinginan, atau ada yang menyebutnya ketamakan. Sangatlah wajar bila seseorang menginginkan sesuatu lebih baik, dan lebih menyenangkan. Jadi orang bekerja untuk uang karena keinginan. Mereka menginginkan uang untuk kesenangan yang mereka pikir bisa mereka beli. Tetapi, sayangnya, kesenangan yang dibawa uang seringkali tidak lama, dan mereka pun segera menginginkan uang lebih banyak untuk mendapatkan kesenangan yang lebih banyak lagi, kenikmatan lebih banyak, kenyamanan lebih banyak, dan keterjaminan lebih banyak. Karena itu mereka terus bekerja keras, mengira bahwa uang akan menenangkan jiwa yang diganggu oleh rasa takut. Kenyataannya uang tidak selalu dapat menenangkan jiwa. Orang kaya juga termasuk dalam ketakutan ini. Buktinya, banyak orang kaya bukan karena keinginan (menjadi kaya) tetapi karena rasa takut. Mereka berpikir bahwa uang dapat menyingkirkan rasa takut yang disebabkan tidak memiliki uang (miskin), sehingga mereka menimbun berton-ton uang. Namun mereka sekarang takut kehilangan uang. Perhatikan orang yang mempunyai uang milyaran rupiah, mereka justru menjadi lebih takut dibandingkan saat mereka miskin. Mereka sangat takut kehilangan uang mereka. Mereka tidak ingin kehilangan rumah mewah, mobil mewah yang sudah pernah mereka nikmati.

Berdasarkan penjelasan diatas, dan agar kita tidak terperangkap dalam kondisi yang demikian itu, maka dalam setiap pengelolaan keuangan kita harus memulai dari pemahaman yang benar tehadap hakikat uang dan pekerjaan, serta penguasaan pada emosi alias nafsu kita. Pemahaman yang benar terhadap uang adalah uang bukanlah segalanya. Uang hanyalah sarana dalam kehidupan ini. Baik uang maupun pekerjaan tidak bisa menjamin kehidupan kita. Hanya pemahaman yang benar dan kemampuan kita dalam mencari uang dan mengelola uang dengan baik yang akan membuat kehidupan ini menyenangkan. Demikian juga dengan penguasaan emosi, harus menjadi prioritas dalam pengelolaan keuangan. 

Lalu bagaimana pengelolaan keuangan yang baik, adalah bagaimana kita dapat mengelola pengeluaran kita selalu lebih kecil daripada penerimaan. Istilah yang popular adalah ‘Jangan lebih besar pasak daripada tiang”, karena ini akan membuat kita terperosok dalam jeratan dan perangkap besar kehidupan ini. Selain itu, dalam pengelolaan keuangan yang baik juga menyadarkan kita bahwa semua penghasilan atau rezeki yang kita terima didalamnya ada titipan rezeki orang lain yang harus disalurkan dalam kegiatan berbagi. Dengan kegiatan berbagi ini, maka tidak akan ada lagi perangkap bagi kita karena kita telah menumpuk-numpuk harta dan selalu takut kehilangan harta. Kegiatan berbagi yang dilakukan dengan baik, secara tidak sadar akan membuat pikiran kita tenang dan tidak takut kehilangan harta yang kita miliki. Kita tidak lagi takut miskin, karena berbagi itu kita yakini sebagai kekayaan mental yang selalu mendatangkan kekayaan harta. Karena Allah selalu melipatgandakan setiap harta yang kita keluarkan untuk berbagi.

Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Nurul Hayat Surabaya


Sumber: http://www.bukubagus.com/page_inspirasi_all.php?id_kom=422

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Jangan lupa berkomentar ya......